Blogger templates

Minggu, 09 Agustus 2020

Begini Seharusnya Kita Mendidik Generasi Penghafal Al-Qur'an


Oleh: Aminullah Yasin

Program Tahfizh Al-Qur'an beberapa tahun terakhir ini sedang menjadi hit. Banyak pesantren² baru bermunculan yg menyematkan kata² "Pesantren Tahfizhul Qur'an" atau "Rumah Tahfizh" dan yg semisalnya. 

Tak ketinggalan, pesantren² yg telah lama eksis pun, memunculkan program Tahfizhul Qur'an sebagai salah satu program unggulan dengan berbagai macam model dan sistematika yg disesuaikan dengan iklim & budaya organisasi yg berlaku di masing² pesantren tsb. 

Tentu saja hal ini merupakan satu kondisi yg harus kita syukuri bersama, karena kaum muslimin di Indonesia turut serta dalam bagian penjagaan Al-Qur'an yg Allah ta'ala sebutkan dalam surat Al-Hijr, ayat ke-9:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)

"Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur'an) dan Kami pula-lah yang akan melakukan penjagaan terhadapnya."

Berkata Syekh As-Sa'di tentang ayat tersebut, "Penjagaan tersebut adalah ketika Al-Qur'an diturunkan dan setelah Al-Qur'an diturunkan. Ketika diturunkan, yaitu Allah menjaga Al-Qur'an dari usaha pencurian para Syaithon. Adapun penjagaan setelah diturunkannya adalah dengan menjadikan Al-Qur'an ini berada didalam dada Nabi Muhammad lalu di dada² ummatnya (dengan menghafalnya)... Dan diantara bentuk penjagaan Allah terhadap Al-Qur'an adalah Allah akan menjaga ahli Al-Qur'an* dari para musuh² mereka..." (Tafsir As-Sa'di, secara ringkas) 
*Ahli Al-Qur'an adalah orang² yg menghafal, mempelajari, mengamalkan dan mengajarkannya -pent. 

Tiap tahun di negeri kita bermunculan banyak hafizh baru... Mungkin pertambahan jumlah hafizh tiap tahun di negeri kita bisa ratusan atau bahkan ribuan... Satu hal yang sangat menggembirakan. 

Disisi yang lain, ada fenomena yang harus menjadi perhatian bersama agar semangat menjadikan Al-Qur'an sebagai program unggulan pendidikan di Pesantren bisa benar² menjadi hal yg bermanfaat besar. Fenomena tersebut sudah diperingatkan jauh-jauh hari oleh Nabi Muhammad _shallallahu 'alaihi wa sallam_ :

أكثر منافقي أمتي قراؤها

"Mayoritas munafiq ummatku adalah para penghafal Al-Qur'an nya" HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani. 

Fenomena "hafizh munafiq" harus menjadi perhatian bersama, karena ini bukan perkara ringan yg bisa diabaikan begitu saja. Untuk membaca fenomena ini, mari kita renungkan melalui beberapa fakta disekitar kita:

Pertama, berlomba² memunculkan program cepat.

Kita dapati banyak pesantren dan rumah tahfizh yg begitu bangga ketika berhasil mencetak hafizh dalam waktu singkat, sehingga dalam ijazahnya dicantumkan : "hafal 30 Juz dalam waktu sekian bulan."

Sayangnya program cepat ini tidak dibarengi dengan kualitas hafalan yg sepadan, sehingga yg terjadi klaim hafizh 30 juz, namun juz 30 saja tidak mutqin.

Hal ini tentu saja lebih dekat untuk diartikan sebagai "pamer" daripada "tasyji'".

Kedua, semangat menghafal saja. 

Semangat menghafal yg besar tanpa dibarengi dengan semangat mempelajari kandungan maknanya dan mengamalkannya tentu merupakan sebuah kekeliruan. Karena tujuan utama dari Al-Qur'an adalah untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah _ta'ala_ berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

"Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberi petunjuk menuju jalan yang terbaik serta menjadi kabar gembira bagi orang-orang mukmin yang beramal sholih bahwa bagi mereka pahala yang besar." QS. Al-Isra': 9.

Ketika semangat menghafal Al-Qur'an naik drastis, seharusnya semangat mempelajari dan mengamalkan isinya juga naik. Sehingga ketika seorang hafizh membaca Al-Qur'an, tidak sekedar menjadikan bacaannya hanya sebagai "penghias bibir" semata yang bahkan tidak melewati kerongkongan untuk menuju hati dan sanubarinya. 

Program Tahfizh Al-Qur'an sudah selayaknya dirancang plus dengan mengajarkan tafsir yg shohih dan membiasakan peserta didik untuk hidup dalam nuansa Qur'ani. 

Ketiga, tujuan duniawi

Ini sebenarnya masalah hati, namun tak mengapa kita munculkan sebagai bahan untuk instropeksi. Saya tidak mengatakan kalau yg menghafal Qur'an dengan tujuan dapat beasiswa kuliah di PTN/ PTS Favorit adalah tanda menjadikan Al-Qur'an sebagai sarana mendapatkan tujuan duniawi, karena bisa saja dengan seseorang kuliah umum memiliki niat berdakwah dan membela agama dari sisi keilmuan yg dibutuhkan oleh ummat. 

Meski demikian, tetap saja seseorang harus waspada. Bukankah menjaga keikhlasan itu sulit? Seseorang ketika menghafal Al-Qur'an tidak selayaknya berangkat karena tujuan duniawi, namun dia lakukan karena motivasi ukhrowi untuk menjadi "ahlullah wa khosotuhu". Sehingga ketika Allah tidak takdirkan dia melanjutkan kuliah di kampus tujuannya, dia tidak futur dan meninggalkan Al-Qur'an. 

Sebagai penutup, mari renungkan perkataan Imam Al-Ghazali yg dinukil oleh Imam Al-Munawi didalam kitab Faidhul Qodir:
"Hindarilah empat perkara yg sering menghinggapi pada diri penghafal Qur'an:
1. Banyak angan-angan
2. Terburu-buru
3. Sombong
4. Iri hati (hasad) 
Keempat penyakit tersebut secara umum banyak menghinggapi umumnya manusia, namun secara khusus menjadi ujian bagi para penghafal Qur'an. Terkadang seorang penghafal Qur'an banyak berangan-angan, akhirnya justru menjadikan dia malas. Terkadang juga dia terburu-buru untuk mengejar kebaikan sehingga dia malah menjadi tidak jadi mendapatkannya. Dan terkadang dia iri dengan pencapaian teman-temannya, akhirnya dia melakukan hal-hal tercela yg bahkan tidak terpikir untuk dilakukan oleh orang fasik dan pendosa sekalipun." [Faidhul Qodir, Jilid 2, Hal. 102].

Wallahu A'lam. 

0 komentar:

Posting Komentar