Blogger templates

Minggu, 17 Maret 2019

Penghapusan UN, Menuju Desentralisasi Pendidikan di Indonesia

Banyak hal menarik dalam debat cawapres semalam, Ahad (17/3/2019), diantaranya adalah janji kampanye yang dilontarkan oleh cawapres no. urut 02, Sandiaga S. Uno, tentang Pendidikan. Sandi menyatakan, bahwa jika pasangan 02 menang, maka Ujian Nasional akan dihapus.

Sebagai salah satu praktisi di dunia pendidikan, penulis sangat setuju dengan hal tersebut. Karena nyatanya memang sistem pendidikan di Indonesia masih perlu banyak perbaikan. Mulai dari kurikulum, konten, teknis pelaksanaan, pengawasan, hingga sistem evaluasi.

Menjadikan UN sebagai isu utama, menurut penulis adalah sebuah langkah yang sangat strategis, sekaligus sangat berani. Karena dalam rangkaian pendidikan, UN adalah urutan terakhir dari proses pendidikan. Sehingga menghapus UN, artinya mengubah seluruh atau sebagian besar rangkaian proses pendidikan yang telah ada!


Jika UN dihapus, maka harus dimunculkan alternatif baru sistem evaluasi pendidikan, sistem evaluasi tentu saja harus seiring seirama dengan kurikulum, konten dan proses yang dijalankan. Maka menghapus UN, artinya mengubah arah baru pendidikan di Indonesia!

Ada kata kunci yang dilontarkan oleh Sandi dalam debat cawapres semalam, yaitu pendidikan berdasarkan minat dan bakat. Ide besar inilah yang selama ini ditunggu-tunggu oleh banyak praktisi pendidikan di Indonesia. Karena kita sama-sama menyadari, bahwa setiap anak itu memiliki keunikan, bakat, dan kecerdasan masing-masing yang tidak dapat secara mutlak kita komparasikan dengan anak lain, bisa saja seorang anak tidak pandai matematika, tapi pandai dalam olahraga! Ibaratnya jangan ajari ikan memanjat pohon, dan jangan ajari monyet untuk terbang!

Pendidikan berdasarkan minat dan bakat adalah pendidikan yang humanis, sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Memanusiakan manusia dan menyiapkan anak untuk bermasyarakat. Sistem yang ada sekarang cenderung memaksakan setiap anak untuk memiliki kecerdasan yang sama, sehingga muncul penilaian, si A lebih pintar dari si B. Padahal pasca mereka lulus sekolah, belum tentu si A lebih sukses dari si B.

Ada banyak teori barat tentang pendidikan ini, namun penulis lebih tertarik untuk menengok bagaimana sistem pendidikan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam 1400 tahun yang lalu. Mari kita renungi sejenak hadits Nabi berikut :

إن الله لم يبعثني معنتاً، ولا متعنتاً، ولكن بعثني معلماً، ميسراً

“Sungguh Allah tidak mengutusku sebagai orang yg menjerumuskan seseorang dalam kesulitan dan orang yg mencari-cari kesalahan orang lain, tapi Allah mengutusku sebagai guru yg memberikan kemudahan” (HR. Muslim)

Beliau adalah guru terbaik yang dikenal oleh masyarakat dunia. Sistem pendidikan yang beliau lakukan adalah sistem pendidikan yang akhir-akhir ini didiskusikan oleh para profesor baik di timur maupun di barat. Beliau sudah berhasil lakukan itu 1400 tahun yang lalu!

Pendidikan nabawi, lebih menekankan kepada kompetensi pendidik terlebih dahulu sebelum berbicara tentang konsep dan konten yang akan dijalankan. Nabi Muhammad mencontohkan hal tersebut dalam perilaku kesehariannya, mulai dari murah senyum, ramah, lembut, kasih sayang, ketulusan, perhatian, tutur kata yang baik, sikap yang bijaksana, memberikan teladan, dan lain sebagainya. Hal inilah yang seharusnya dimunculkan kembali dalam sistem pendidikan kita.

Sebagus apapun sistem, secanggih apapun media pembelajaran, kesan di hati para murid tetap terletak pada gurunya. Murid tidak akan berkata, “kurikulum kita gak jelas”, tapi mereka akan mengatakan, “saya tidak suka dengan guru saya”.

Terlebih didunia yang sudah serba canggih ini, berbagai konten ilmu sangat mudah didapatkan siapa saja di internet. Sistem pembelajaran daring (online) juga sudah banyak yang menarik, jika guru tidak memiliki kompetensi nabawi, maka jangan salahkan siapa-siapa jika guru tidak lagi dihargai layaknya guru!

Kembali ke masalah penghapusan UN. Dalam hemat penulis, ada dua kemungkinan yang akan dimunculkan sebagai turunan dari kebijakan penghapusan UN.

Pertama, tetap mempertahankan standar nasional. Dalam hal ini, pemerintah akan merancang berbagai perminatan dalam sebuah kebijakan besar, siswa akan memilih peminatan yang telah disediakan dan diatur oleh pemerintah, dan lalu standar pengevaluasian akan disesuaikan dengan peminatannya. Jika ini diterapkan, maka standar pendidikan nasional akan menjadi sangat dinamis, dimana jumlah jenis peminatan pasti akan terus berkembang dan berganti seiring dengan perkembangan bangsa.

Kedua, pemerintah akan melakukan desentralisasi pendidikan. Dimana tiap-tiap sekolah diberikan kebebasan dalam pengembangan pendidikannya. Pemerintah hanya sebagai fasilitator dan menstandarkan hal-hal yang asasi, spt. standar pendidik, rambu-rambu konten terlarang, dsb.

Penulis sendiri lebih berharap jika kelak diterapkan desentralisasi pendidikan. Selain sekolah dapat berkreasi sendiri dalam menentukan arah proses pendidikannya, juga memungkinkan sekolah dapat menggali potensi kearifan lokal di daerahnya secara lebih mendalam. Masyarakat juga memiliki pilihan yang beragam untuk pendidikan putra-putri mereka. Selain juga akan terjadi kompetisi antar sekolah untuk melahirkan generasi yang benar-benar “siap guna” bagi masyarakat. “Gengsi nilai dan ranking” tidak akan lagi terjadi, para orang tua tidak lagi peduli tentang itu, sehingga sekolah tidak lagi dinilai oleh masyarakat dari nilai UN dan alumni yang diterima di Perguruan Tinggi favorit, tapi sekolah akan dinilai bagaimana outcome pendidikan yang dihasilkan. Akan terjadi perubahan paradigma tentang sekolah kearah yang lebih humanis.

Meski demikian, kita tetap patut khawatir, mengingat angin globalisasi yang cenderung diwarnai oleh westernisasi semakin kencang berhembus sehingga sangat mungkin corak pendidikan di Indonesia kedepan akan diwarnai oleh corak kebarat-baratan. Import ide, gagasan dan pemikiran dari barat akan menjadi tidak terbendung. Pemerintah tidak akan dapat melakukan filter dan pencegahan kecuali pada hal-hal yang sangat mencolok akan merusak tatatan bernegara. Lembaga pendidikan juga akan bergeser menjadi industri pendidikan, tiap-tiap sekolah akan mengembangkan idenya dan menetapkan biaya tententu dalam implementasinya sehingga memicu lahirnya kembali (atau semakin menguatkan) stratifikasi masyarakat dalam penerimaan pendidikan. Pendidikan si kaya akan berbeda dengan pendidikan si miskin.

Kedua alternatif tersebut tentu adalah pilihan yang berat dan penuh tantangan. Karena betul-betul mengubah paradigma yang telah berjalan sekian puluh tahun lamanya, namun itu harus dimulai untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik. Dan patut kita perhatikan bersama, strategi apa yang telah disiapkan oleh pasangan 02 jika mereka menang dalam pilpres 17 april nanti. Semoga menang.

Jonggol, 18 Maret 2019
Aminullah Yasin
Guru

0 komentar:

Posting Komentar