Blogger templates

Senin, 26 Juli 2021

Penggerak perekonomian itu bernama : Hutang

Oleh : Aminullah Yasin

(Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Syariah Institut Tazkia, Bogor) 


Jika kita bicara tentang hutang, mungkin yang terpikir dalam benak sebagian orang adalah menghindarinya (baik berhutang maupun memberi hutang). Berpikir bahwa keselamatan diri terletak dengan menghindari hutang memang tidak salah, namun  dalam skala makro hutang justru menjadi salah satu sumber kebaikan. Kebaikan yang sangat banyak. 

Tak salah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan motivasi tentang hutang. Mari kita renungkan beberapa hadits berikut:

ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقتها مرة

"Tidaklah seorang muslim memberi hutang muslim lainnya dua kali, kecuali dia mendapatkan pahala seperti bersedekah satu kali" HR. Ibnu Majah, dihasankan oleh Al-Albani. 

إن السلف يجري مجرى شطر الصدقة. 

"Hutang itu memiliki pahala setengah sedekah" HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani. 

Dua hadits diatas secara jelas menyebutkan bahwa pahala menghutangi adalah setengah pahala sedekah. 

Dalam hadits yg lain disebutkan :

كان رجل يداين الناس فكان يقول لفتاه: إذا أتيت معسرا فتجاوز عنه لعل الله أن يتجاوز عنا، قال: فلقي الله فتجاوز عنه

"Ada seorang lelaki yang menghutangi orang-orang, dia-pun memberi pesan kepada staffnya: "jika ada orang yg kesulitan (dalam melunasi hutang), maafkan saja, semoga Allah memaafkan kesalahan kita.". Nabi menegaskan: " Dia bertemu Allah dalam kondisi Allah memaafkan kesalahannya." HR. Al-Bukhari dan Muslim. 

من أنظر معسرا أو وضع عنه أظله الله في ظله 

"Barangsiapa menangguhkan hutang orang yg kesulitan atau merelakannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya" HR. Muslim. 

من أنظر معسرا كان له كل يوم صدقة، ومن أنظره بعد حله كان له مثليه في كل يوم صدقة.

"Barangsiapa menangguhkan hutang orang yg kesulitan, maka dia setiap hari mendapatkan pahala sedekah. Dan barangsiapa menagguhkan hutang tsb setelah jatuh temponya, maka baginya setiap hari dua kali pahala sedekah." HR. Ahmad, dishahuhkan oleh Al-Albani.

Tiga hadits diatas menyebutkan keutamaan lebih lanjut dari "praktik" hutang-piutang, dimana pahalanya tidak berhenti hanya saat memberikan hutang saja, namun berlanjut saat berada dalam masa penantian pelunasan, lalu berlanjut lagi saat memberikan penangguhan pelunasan.

Selain hadits-hadits diatas, keumuman banyak ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang dapat dipahami tentang keutamaan hutang.

Memberi hutang memang beresiko tinggi, namun bukankah dalam dunia bisnis juga dikenal "jika ingin keuntungan tinggi, maka harus siap 'berspekulasi' dengan resiko tinggi" (!).

Dalam Mausu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah dijelaskan lebih lanjut tentang hukum memberi hutang menjadi lima hukum:

  • Sunnah : ini adalah hukum asalnya.
  • Berubah menjadi wajib : jika yang mengajukan hutang adalah orang yang sangat butuh (mendesak) dan yang dimintai hutang adalah orang yang memiliki harta berlebih.
  • Berubah menjadi haram atau makruh : jika diketahui bahwa yang mengajukan hutang bermaksud menggunakannya untuk kemaksiatan atau sia-sia.
  • Berubah menjadi mubah : jika yang mengajukan hutang bukan karena kebutuhan yang mendesak, namun untuk kepentingan duniawi yang halal. [Mausu'ah Fiqhiyyah, jilid 33, hal. 113]

Mari kita tambahkan 'pengandaiannya', jika hutang itu mampu membantu banyak orang keluar dari lingkaran riba, meningkatkan kemandirian ekonomi umat, dan membumikan praktik-praktik muamalah maaliyah yang sesuai dengan syari'at pada masyarakat muslim disaat banyak orang Islam tidak mengenal rambu-rambu syariah dalam praktik muamalah maaliyah, kira-kira apa hukum hutang tersebut?

Peran perbankan dalam perekonomian dunia.

"Pemeo ekonomi menyatakan, siapa yang menguasai perbankan akan menguasai perekonomian suatu  negara. Kemudian  pemeo politik menyatakan, siapa yang menguasai perekonomian suatu negara akan menguasai politik negara tersebut."  (Prof. H. M. Joesoef Sou'yb dalam Riba Rente Bank).

Sebenarnya, darimana sih bank mendapatkan modal?

Guru kami, Al-Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA. hafizhahullah pernah menyatakan bahwa praktek perbankan islami pertama kali dikenalkan oleh  sahabat Nabi yang bernama Az-Zubair bin Al-'Awwam radhiyallahu anhu. 

Beliau adalah orang yang sangat dikenal dengan amanahnya sehingga banyak saudagar jika ingin berniaga ke luar kota mereka menitipkan hartanya ke beliau.

Beliau tidak berkeberatan dititipin harta oleh para saudagar tersebut, namun beliau sampaikan kepada para penitip bahwa harta itu dianggap sebagai hutang (qordh / salaf) bukan titipan biasa (wadi'ah). Karena konsekuensi dari dua akad tersebut berbeda: Dana Qordh boleh "diputar" untuk bisnis. Sementara dana Wadi'ah gak boleh, hanya boleh disimpan alias dianggurin. 

Beliaupun berbisinis dengan "dana titipan" tersebut. Sehingga beliau memiliki banyak tanah, kebun, dan rumah di berbagai wilayah: ada di madinah, bashrah, kufah, dan mesir. Luar biasa. 

Sepeninggalan beliau, putra beliau yang bernama Abdullah bin Az Zubair, melunasi seluruh hutang-hutang ayahanda dengan menjual aset² yang dimilikinya. Ternyata diluar dugaan, hasil penjualan aset-aset tersebut bernilai berlipat-lipat ganda dari hutang yang diperolehnya. Ada yang menyebutkan bahwa total harta waris Az Zubair lebih dari 50.000.000 dinar (sekitar 200 Triliun rupiah), sementara hutangnya sebesar 2.200.000 dinar (sekitar 8,8 Triliun rupiah). Masyaallah. Kisah ini terdapat dalam Shahih Al-Bukhori No. 2913. 

Sistem permodalan berbasiskan hutang inilah yang pada era belakangan ini diakomodir secara masif pada lembaga yang bernama BANK. 

Terlepas dari segala kerusakan yang ditimbulkan oleh Bank Konvensional (atau bahkan "Bank Syariah rasa konvensional"), diakui bahwa perbankan telah berkontribusi terhadap perekonomian dunia. Banyak pebisnis sukses yang "disokong" oleh bank, bahkan rakyat kecil-pun banyak yang 'mengandalkan' bank sebagai solusi terakhir permasalahan ekonomi mereka.

Mungkin kalau boleh kita qiyas-kan, bank itu mirip dengan khomr dan maisir, yang Allah ta'ala sebut dalam Al-Qur'an :

قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

"...Katakanlah (wahai Muhammad): pada kedua hal tsb (khomr dan maisir) terdapat dosa (kerusakan) yang besar dan manfaat bagi manusia. Namun dosa kedua hal tsb lebih besar daripada manfaatnya..." [QS. Al-Baqoroh : 219].

Tidak dipungkiri, bahwa perbankan dewasa ini memiliki banyak manfaat namun disaat yang sama juga membawa efek buruk yang besar. Bahkan mungkin efek buruknya jauh lebih besar dari manfaat yang ditimbulkannya.

Meski demikian, bank tidak bisa kita sikapi seperti khamr dan maisir. Haram mutlak, titik! Tidak! Bank hanyalah sebuah sistem perekonomian yang berpikir bagaimana mengelola hutang sebagai modal besar dan mengubahnya menjadi sesuatu yang spektakuler. Sehingga yang harus dipikirkan adalah bagaimana sistem perbankan bersih dari segala unsur keharaman, seperti riba dan maisir. 

Cukuplah apa yang di lakukan oleh Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu 'anhu menjadi motivasi bagi kita untuk mencetuskan kembali sistem perbankan yang "murni syariah".

Kembali ke pertanyaan diatas : jika hutang itu mampu membantu banyak orang keluar dari lingkaran riba, meningkatkan kemandirian ekonomi umat, dan membumikan praktik-praktik muamalah maaliyah yang sesuai dengan syari'at pada masyarakat muslim disaat banyak orang Islam tidak mengenal rambu-rambu syariah dalam praktik muamalah maaliyah, kira-kira apa hukum hutang tersebut?

Siapkah kita mendeklarasikan moto : "mari hutangkan harta kita dalam kebaikan!" ?

Wallahu a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar