Blogger templates

Rabu, 16 September 2020

Menggagas Pendidikan Islam yang Murah


Oleh : Aminullah Yasin.

Education for All (EFA), merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi oleh UNESCO sejak tahun 2000. Tujuan dari gerakan ini adalah pemerataan pendidikan bagi setiap warga dunia, tanpa memandang status mereka. Sudah 20 tahun gerakan tersebut bergulir, namun dilapangan kita masih mendapatkan gap yang cukup besar antar lapisan masyarakat, termasuk (atau terutama) masyarakat muslim di Indonesia.

Lahirnya sekolah-sekolah Islam baik yang berbasis asrama (pesantren) maupun non-asrama di negeri kita ini merupakan anugrah yang harus disyukuri bersama. Hampir tiap kota (terutama di Pulau Jawa), berdiri sekolah Islam berkualitas yang menawarkan berbagai macam keunggulan baik dari sisi proses pendidikannya, maupun output lulusannya.

Semakin tinggi kualitas sebuah sekolah, biasanya ditandai dengan semakin tinggi pula biaya pendidikan di sekolah tersebut, karena memang faktanya biaya operasional sekolah tidaklah murah. Fakta ini menyebabkan (mau tidak mau) terjadinya dikotomi antara si kaya dan si miskin, kesempatan mendapatkan pendidikan yang berkualitas masih bergantung pada faktor strata ekonomi orang tua atau keberuntungan.

Sejauh ini memang belum ada data penelitian berapa range biaya pendidikan di sekolah-sekolah Islam tersebut, namun isu tentang ini sudah cukup santer dimasyarakat. Bahkan ada yang berseloroh, "waktu membangun minta-minta sumbangan, setelah jadi pasang biaya mahal!".

Bagaimana solusinya?

1. Gagasan Sekolah IT dari Yogyakarta

Sekitar tahun 2014, penulis berkenalan dengan dua anak muda di Yogyakarta yang memiliki gagasan cemerlang tentang sekolah murah (gratis), yaitu Mas Rully dan Mas Usman.

Mereka berdua, merintis sebuah pendidikan IT berbasis pondok dengan biaya gratis 100%. Idenya sangat sederhana, yaitu santri-santri diajari IT secara intensif, lalu diarahkan untuk mencari project, setelah berhasil mendapatkan project IT, mereka berkewajiban memberikan beasiswa kepada adik-adik kelasnya, dan begitu seterusnya. Jadi, biaya pendidikan selama sekolah disana ditanggung oleh kakak kelasnya. Output dari sekolah ini adalah ahli IT yang mumpuni dan berkarakter Islami.

Sampai saat ini pendidikan di sekolah tersebut bisa dibilang berhasil, karena lulusannya banyak yang sukses berkarir di bidang IT, meski saat ini Mas Rully dan Mas Usman sudah berjalan sendiri-sendiri, Mas Rully dengan Pondok Programmer-nya, dan Mas Usman dengan QODR-nya.

Gagasan Pondok Programmer dan QODR tentu saja sebuah terobosan yang sangat menarik, perlu didukung oleh banyak pihak agar semakin menjadi besar dan berkembang.

2. Kerjasama dengan lembaga donor timur tengah

Pembangunan fisik sekolah merupakan satu sektor yang menyedot banyak pendanaan, untuk satu ruang kelas ukuran 7x9 saja dibutuhkan setidaknya biaya sebesar 100 s.d 200 juta rupiah. Apalagi jika sekolahnya berkonsep pesantren, harus dipikirkan bangunan masjid, asrama, mck, dapur, dll. Praktis biaya satu maket pesantren untuk kapasitas santri 500 orang membutuhkan tidak kurang dari 8 Milyar rupiah. Jika biaya ini dibebankan kepada orangtua santri, tentu akan menjadikan biaya uang pangkal cukup besar.

Saat ini ada banyak lembaga donor Timur Tengah yang mendirikan perwakilan di Indonesia, jika dulu yang dikenal hanya lembaga Ihyaut Turots (salah satu lembaga donor terbesar di Kuwait yang memiliki banyak perwakilan di negara-negara asia dan afrika), kini bermunculan banyak lembaga yang memiliki basis di Arab Saudi, Kuwait, Emirat, Qatar, dll.

Dana segar tersebut, rata-rata berstatus hibah, shodaqoh dan wakaf. Namun untuk mendapatkannya tidaklah mudah, kita harus bisa meyakinkan pihak perwakilan dan juga penyandang dana (muhsinin). 

3. Donatur dalam negeri

Alhamdulillah, negeri kita tidak kekurangan orang kaya nan dermawan, sehingga keberadaan muhsinin dalam negeri tersebut terbukti telah berperan banyak dalam berdirinya lembaga-lembaga pendidikan. Butuh seni dalam berkomunikasi (selain keikhlasan), ketika ingin mengakses para donatur tersebut.

Beberapa teman penulis telah menginisiasi dalam membangun sistem yang dapat menjembatani antara donatur dengan lembaga yang membutuhkan, salah satunya adalah platform infaqu.id. Upaya ini tentu membutuhkan dukungan yang luas dari kita bersama, agar dapat menjadi plaftorm besar yang bermanfaat untuk umat Islam secara luas.

4. Pengembangan Manajemen Mutu 

Beberapa sekolah Islam (terutama Pesantren), tidak begitu peduli dalam mengembangkan sistem manajemen keorganisasiannya. Bahkan sebagian pengurus sekolah Islam masih merasa tabu untuk menerapkan manajemen kelembagaan yang baik, karena menganggap ilmu manajemen berasal dari barat. Namun tidak sedikit yang terbuka hanya saja terkendala kepada kemampuan dan pengetahuan tentang ilmu manajemen.

Tentu fenomena ini merupakan satu permasalahan yang harus segera diurai, karena bagaimanapun sistem manajemen yang baik akan berimbas pada pengelolaan harta sekolah dengan baik, melahirkan strategi-strageti yang tepat, dan lebih optimal dalam proses pendidikan itu sendiri.

Manajemen sendiri sebenarnya adalah ilmu terapan, artinya mempelajari manajemen bukanlah hal yang sulit, meskipun jika ingin menjadi ahli dibidang ini perlu untuk serius melakukan studi manajemen. Beberapa teman penulis juga alhamdulillah menginisasi berdirinya lembaga konsultasi manajemen sekolah Islam, seperti Qaulan Karima Edutama yang didirikan oleh Kang Fuad.

Atau jika ingin sharing dan konsultasi dengan penulis juga boleh. Alhamdulillah, penulis memiliki latar belakang keilmuan manajemen pendidikan, meskipun bukan seorang ahli.

5. Optimalisasi Program Wakaf Produktif

Wakaf merupakan salah satu ciri khas dari praktik islamic social finance , ini merupakan salah satu titik pembeda antara sistem ekonomi kapitalis dan sosialis dengan sistem ekonomi Islam. Perkembangan praktik wakaf di dunia Islam itu sendiri telah mengalami banyak perubahan paradigma, bukan dari sisi landasan hukumnya, namun dari sisi implementasinya.

Jika kita berbicara skala makro, banyak negara-negara Islam yang memiliki kementrian khusus mengurusi wakaf, sebut saja Arab Saudi, Kuwait, Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain, Mesir, Maroko, dsb. Tentu saja ketika sebuah urusan dipegang oleh Lembaga Kementrian, artinya hal tersebut memiliki "nilai" yang sangat penting dan strategis bagi kelangsungan negara.

Bagaimana dengan Indonesia? 

Sejarah perwakafan di Indonesia memang agak berbeda dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, pemerintah sendiri baru mengeluarkan Undang-Undang tentang wakaf pada tahun 2004 (UU No. 41 tahun 2004), setelah dua tahun sebelumnya MUI menerbitkan fatwa tentang hal ini.

Sehingga dapat kita katakan, bahwa lahirnya UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf tidak lepas dari upaya KH. Ma'ruf Amin, dimana saat itu beliau sebagai ketua komisi fatwa MUI.

KH. Ma'ruf Amin yang saat ini menjawab sebagai wakil presiden RI, ternyata masih membawa semangat untuk menghidupkan wakaf produktif di Indonesia. Hal ini diwujudkan dalam sebuah program yang beliau inisiasi dengan nama Gerakan Wakaf Indonesia, dalam rakornas Badan Wakaf Indonesia pada senin (14/9/2020) yang mengusung tema "Kebangkitan wakaf produktif menuju Indonesia emas 2045".

Data dari Kementrian Agama, saat ini terdapat tanah wakaf seluas 51.857,94 Ha, dengan 386.873 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini baru yang terdata, sementara masih banyak lahan tanah wakaf yang belum terdata di kementrian agama. 

Kita tidak akan membahas perwakafan secara makro dalam tulisan ini. Sekarang mari kembali kepada tema kita.

Lembaga pendidikan bisa menghidupkan program wakaf produktif ini, sehingga pembiayaan pendidikan dapat ditekan semurah mungkin, kalau perlu gratis. Agar terwujud program ini, penulis memiliki beberapa gagasan dan saran, yaitu:

a. Bentuk Divisi Wakaf Pesantren.

Ini hal yang paling urgent, karena potensi wakaf itu adalah potensi yang luas. Disini bisa menghasilkan sumber keuangan yang besar. Divisi Wakaf idealnya dipimpin oleh seorang Ustadz yang memiliki keilmuan yang baik dalam bidang fikih muamalah, dan didampingi oleh seorang yang ahli dalam bidang manajemen harta syari'ah.

b. Funding Wakaf

Funding dana wakaf bisa dimulai dengan mengajak orangtua/ wali santri untuk berwakaf setiap bulannya. Program wakaf ini, diluar dari SPP dan biaya wajib lainnya yang telah berjalan, sifatnya sukarela namun berkesinambungan.

Misalkan sebuah sekolah/ Pesantren memiliki santri berjumlah 500 anak, maka jika saham wakaf itu dibuka dari nilai Rp. 10,000,- akan terkumpul setidaknya Rp. 5,000,000,-. Gulirkan funding wakaf ini setiap bulan, sehingga dalam setahun dana wakaf yang terkumpul minimal Rp. 60,000,000,-. Karena ini adalah wakaf, maka sangat terbuka dari pihak selain wali santri untuk mengikutinya.

Program wakaf berbeda dengan program infaq/ shadaqoh, dimana jika infaq/ shodaqoh penggunaannya cenderung sekali pakai, dapat dana 5,000,000,- disalurkan 5,000,000,-, bulan berikutnya menggalang lagi dari nol. Wakaf berbeda, dimana dana wakaf 5,000,000,- tersebut tidak boleh berkurang nilainya, yang dimanfaatkan adalah hasil dari dana tersebut. Sehingga perolehan dana wakaf akan terus naik setiap bulannya. 

Bayangkan, jika ada dua pesantren salah satunya mengelola wakaf produktif selama 10 tahun, sementara yang lain mengandalkan infaq & shodaqoh dari donatur. Mungkin diawal, yang mengandalkan infaq & shodaqoh lebih cepet eksis, namun setelah 10 tahun pesantren yang mengelola wakaf produktif akan lebih sustain, insyaallah. 

c. Responsibilitas dan Akuntabilitas

Banyaknya lembaga bisnis/ keuangan yang berlabel syari'ah tidak berkembang, biasanya disebabkan karena hilangnya salah satu dari dua prinsip utama: responsibilitas dan akuntabilitas.

Sehingga divisi wakaf pesantren perlu memegang teguh kedua prinsip tersebut. Jika salah satunya hilang, maka abyar lah program wakaf ini dan tercoreng pula nama baik sekolah/ Pesantrennya.

Alasan mengapa diawal kami usulkan agar lembaga wakaf ini dikelola oleh seorang ustadz dan ahli manajemen harta adalah agar dua prinsip ini dapat berjalan dengan baik. Sang Ustadz dapat mengendalikan sisi responsibilitas dan ahli manajemen harta dapat mengendalikan sisi akuntabilitas.

d. kenapa harus wakaf dan bukan koperasi/ syirkah usaha?

Koperasi/ syirkah usaha adalah usaha yang dimiliki oleh para pemodal/investor. Sehingga jika suatu saat terjadi "perselisihan" sangat mungkin usaha tersebut tidak lagi memberikan manfaat untuk pesantren. Sementara wakaf kepemilikannya sudah berpindah menjadi milik Allah ta'ala dan sifatnya muabbad, sehingga tidak ada potensi polemik seperti halnya koperasi/ syirkah usaha.

Jika masing-masing yayasan/ sekolah/ pesantren memulai mengembangkan usaha wakaf produktif ini secara serius, tidak mustahil jika 10 - 20 tahun kedepan, akan bermunculan sekolah/ pesantren unggulan dengan fasilitas mentereng yang GRATIS!

Wallahu a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar