Blogger templates

Jumat, 04 September 2020

PENGANTAR ILMU TAJWID: Keutamaan Mempelajari dan Membaca Al-Qur'an*

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beserta sahabat, keluarga dan ummatnya hingga akhir zaman.

Mempelajari cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar merupakan salah satu ibadah terbaik, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalllalahu alaihi wa sallam, dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu:

خَيْرُكُمْ مَن تَعَلَّمَ القُرْآنَ وعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” [HR. Al-Bukhori].

Predikat kemuliaan berdasarkan hadist tersebut dapat diraih dengan mempelajari Al-Quran secara sungguh-sungguh.

Sifat Seorang Yang Mempelajari Al-Qur’an

Seseorang yang memutuskan untuk meraih predikat kemulian dengan mempelajari Al-Qur’an, setidaknya harus memiliki empat sifat utama yang dijelaskan dalam uraian berikut.

Sifat pertama, Ikhlas.

Keikhlasan merupakan pondasi utama dalam mempelajari Al-Qur’an. Ketika mempelajari Al-Qur’an, seseorang tidak boleh memiliki niatan untuk tujuan duniawi. Namun menjadikan niatnya itu untuk mendapatkan ridho Allah ta’ala.

Sifat kedua, memiliki guru.

Al-Qur’an tidak akan bisa dipelajari tanpa adanya guru. Karena guru tersebutlah yang akan menunjukkan kesalahan-kesalahan kita ketika membaca Al-Qur’an, lalu meluruskannya. Guru Al-Qur’an bisa berprofesi apa saja, yang penting dia dapat membaca Al-Qur’an dengan benar dan dibuktikan dengan adanya ijazah Al-Qur’an.

Sifat ketiga, sabar.

Dalam mempelajari Al-Qur’an dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Jika seseorang mendapatkan banyak kesalahan dalam membaca Al-Qur’an ketika awal belajar secara serius kepada Guru, maka itu adalah hal yang wajar. Bahkan para ahli Al-Qur’an pun dahulu mereka melewati fase ini, dikoreksi cara membaca ta’awwudz, Al-Fatihah, dst.

Sifat keempat, tekad dan semangat yang tinggi.

Seseorang harus memiliki kebulatan tekad dan semangat yang tinggi ketika mempelajari Al-Qur’an. Dia harus siap berkorban waktu, harta dan tenaganya demi meraih predikat kemuliaan ini. Ketika seseorang terus bersemangat dalam mempelajari Al-Qur’an, Allah ta’ala pasti tidak akan menyia-nyiakan usahanya tersebut.

Metode Mempelajari Cara Membaca Al-Qur’an

Al-Qur’an yang Allah ta’ala turunkan melalui malaikat Jibril ‘alaihis salam dapat dipelajari dengan tiga metode.

Metode pertama, guru membacakan Al-Qur’an secara benar kepada murid, kemudian murid mengulangi bacaan guru dan bacaannya tersebut akan dikoreksi langsung oleh guru. Metode ini merupakan metode yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dan metode ini pula yang menjadi metode Malaikat Jibril ketika menyampaikan Al-Qur’an kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Metode ini adalah metode terbaik, karena Allah ta’ala menurunkan Al-Qur’an melalui malaikat Jibril, Dia membacakan ayat Quran kepada Malaikat Jibril ‘alaihis salam, kemudian Malaikat Jibril membacakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau membacakannya kepada para sahabatnya lalu para sahabat mengajarkannya kepada para muridnya, dan kemudian para murid sahabat itu mengajarkannya kepada murid-muridnya dan begitu seterusnya. Metode ini terbukti mampu menjaga kemurnian cara pembacaan Al-Qur’an yang benar, karena adanya mata rantai dalam pembelajarannya yang bersambung hingga Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hingga Allah ta’ala.

Metode ini disebut sebagai metode terbaik karena murid telah mendengarkan terlebih dahulu cara membaca Al-Qur’an yang benar dari Guru, kemudian membacakan ulang dan tiap kesalahannya langsung dikoreksi dan diluruskan oleh Guru. Sehingga murid akan dapat membaca Al-Qur’an dengan cara yang benar sesuai dengan yang diajarkan Gurunya.

Metode kedua, murid membaca Al-Quran terlebih dahulu tanpa ada contoh pembacaan Al-Quran dari gurunya dan jika ada kesalahan akan dikoreksi langsung oleh Guru. Metode ini biasanya diterapkan bagi murid yang memiliki latar belakang ilmu membaca Al-Quran. Ini adalah metode yang paling banyak diterapkan saat ini.

Metode ketiga, murid hanya mendengarkan pembacaan gurunya dan tidak memperdengarkan kembali bacaannya kepada Guru. Metode ini adalah metode yang jarang dipakai dan ini adalah metode dengan standard yang terendah, karena guru tidak mendengarkan muridnya membaca Al-Quran dan tidak pula mengoreksi kesalahan mereka. Metode ini sama seperti seseorang yang mempelajari Al-Qur’an dari rekaman bacaan para Qori’.

Tingkatan Orang Yang Membaca Al-Qur’an

Tidak diragukan lagi, bahwa seseorang yang membaca Al-Qur’an memiliki keistimewaan yang besar, terkait dengan hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الْماهِرُ بالقُرْآنِ مع السَّفَرَةِ الكِرامِ البَرَرَةِ، والذي يَقْرَأُ القُرْآنَ ويَتَتَعْتَعُ فِيهِ، وهو عليه شاقٌّ، له أجْرانِ

“seorang yang mahir membaca Al-Qur’an dia akan bersama para Malaikat yang terhormat dan orang yang terbata-bata di dalam membaca Al-Qur’an serta mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala” [HR. Al-Bukhori dan Muslim].

Berdasarkan hadits diatas, ada dua jenis orang yang membaca Al-Qur’an, yaitu orang yang lancar membaca Al-Qur’an dan orang yang terbata-bata membaca Al-Qur’an. Tentu saja yang terbaik dari dua jenis tersebut adalah jenis yang pertama, yaitu lancar membaca Al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjanjikan dia akan senantiasa bersama para Malaikat.

Sedangkan jenis kedua, yaitu orang yang membacanya dengan terbata-bata, maka dia dijanjikan akan mendapatkan dua pahala sekaligus. Pahala pertama adalah pahala bacaan Al-Qur’annya dan pahala kedua adalah pahala usaha yang dia kerahkan untuk membaca Al-Qur’an. Dengan hal ini seorang muslim tidak perlu khawatir dan kecewa ketika mendapati dirinya belum mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.

Seberapa pentingkah belajar membaca Al-Quran dari seorang guru?

Tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk untuk dipahami dan diamalkan, namun bukan berarti membacanya dengan cara yang benar menjadi tidak begitu penting. Hal ini bisa kita pahami dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

خُذُوا القُرْآنَ مِن أرْبَعَةٍ مِن عبدِ اللَّهِ بنِ مَسْعُودٍ - فَبَدَأَ به -، وسَالِمٍ، مَوْلَى أبِي حُذَيْفَةَ، ومُعَاذِ بنِ جَبَلٍ، وأُبَيِّ بنِ كَعْبٍ

“Pelajarilah Al-Qur’an dari empat orang: Abdullah bin Mas’ud, Salim (mantan) budaknya Abu Hudzaifah, Mu’adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab.” [HR. Al-Bukhori dan Muslim].

Mereka ini adalah para sahabat yang secara khusus disebut orang yang layak dijadikan guru oleh para sahabat lainnya. Mengapa? Karena keahlian mereka dalam membaca Al-Quran dan Allah memberikan mereka keistimewaan serta Rasululah shallallahu alaihi wa sallam pun mengakui hal itu. Oleh sebab itu beliau menyuruh keempat sahabatnya ini untuk menjadi guru Al-Quran. Hadits ini dapat kita pahami pentingnya memilih guru Al-Quran terbaik, sebagaimana Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan petunjuk kepada para sahabatnya agar menekuni pembelajaran Al-Qur’an dari keempat sahabat tersebut.

Dalam hadits yang lain, beliau juga bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْهُ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ

“Barangsiapa yang ingin mampu membaca Al-Qur’an tepat seperti awal diwahyukannya, maka hendaklah dia membaca seperti caranya Ibnu Ummi ‘Abdin” [HR. Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya. Dishohihkan oleh Syekh Al-Albani].

Para Ulama menjelaskan, Ibnu Ummi ‘Abdin dalam hadits diatas adalah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Mas’ud bin Yazid Al-Kindi dan dishohihkan oleh Syekh Al-Albani, disebutkan bahwa suatu hari Abdullah bin Mas’ud mengajari seseorang membaca Al-Qur’an, lalu orang tersebut membaca ayat ke-60 dalam surat At-Taubah (إِنَّما الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ), namun orang tersebut membaca (لِلْفُقَرَاءِ) dengan pendek, tanpa memberinya madd.

Lalu Abdullah bin Mas’ud menegurnya seraya mengatakan, “tidak seperti ini cara membaca yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepadaku”. Beliaupun membacakan cara membaca yang benar, yaitu memanjangkan bacaan (لِلْفُقَرَاءِ).

Hadits dan atsar diatas menunjukkan betapa pentingnya kehadiran seorang guru agar kita dapat membaca Al-Qur’an dengan cara benar. Al-Qur’an tidak boleh kita baca dengan cara yang kita maui, bahkan aturan panjang-pendek bacaan pun diatur secara rinci.

Membaca Al-Qur’an harus sesuai dengan cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena membacanya merupakan amal ibadah yang berpahala besar. Oleh sebab itu, ketika membaca Al-Qur’an harus terpenuhi pada diri kita dua syarat: ikhlas dan mutaba’ah Rasul.

Seseorang yang membaca Al-Qur’an sesuai dengan hukum-hukum tajwid yang berlaku akan lebih merasa dekat atau tunduk dengan makna dari ayat yang dia baca dan memudahkannya untuk mentadabburi makna ayat tersebut. Selain itu, juga  bisa membuat orang itu mencintai dan menikmati membaca Al-Quran dan tidak pernah merasa bosan dari membacanya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk membaca Al-Quran dengan memperindah suara. Beliau bersabda:

ليس مِنَّا مَن لم يَتغَنَّ بالقُرْآنِ

“Orang yang tidak memperindah bacaan Al-Qurannya bukanlah bagian dari kami.” [HR. Abu Dawud, dishohihkan oleh Al-Albani].

Makna memperindah disini tentu saja orang yang membaca Al-Quran tidak seperti membaca buku pada umumnya. Dia harus membacanya dengan suara yang indah dengan usaha yang terbaik, sesuai dengan kaidah bacaan (tajwid) yang berlaku. Hal ini tidak akan bisa dicapai seseorang tanpa adanya guru.

Keutamaan membaca dan mempelajari Al-Qur’an

Sebagaimana disebutkan diawal tulisan ini, bahwa seorang yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an adalah termasuk golongan manusia terbaik dalam umat ini.

خَيْرُكُمْ مَن تَعَلَّمَ القُرْآنَ وعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” [HR. Al-Bukhori].

Selain hadits tersebut, Rasulullah juga menyebutkan beberapa hadits lain tentang keutamaan membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Diantaranya, beliau pernah bersabda:

منْ قرأَ حرفًا من كتابِ اللهِ فله به حسنةٌ ، والحسنةُ بعشرِ أمثالِها لا أقولُ : آلم حرفٌ ، ولكنْ ألِفٌ حرفٌ وميمٌ حرفٌ

“Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu pahala yang mana satu pahala tersebut dilipatgandakan 10 kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa (ألٓمٓ) adalah satu huruf, namun Alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf” [HR. At-Tirmidzi].

Jika hanya membaca (ألٓمٓ) kita akan mendapatkan 30 pahala, bagaimana jika kita membaca basmalah? Atau surat Al-Fatihah? Atau bahkan jika kita membaca keseluruhan Al-Qur’an? Tentu pahalanya sangat besar. Segala puji bagi Allah yang atas nikmat-Nya menjadi sempurnalah kebaikan-kebaikan.

Dalam hadits lain, beliau menyebutkan empat keistimewaan sekaligus bagi orang-orang yang membaca dan mempelajari Al-Qur’an didalam masjid:

ما اجتَمَعَ قَومٌ في بَيتٍ مِن بُيوتِ اللهِ تَعالى يَتلونَ كِتابَ اللهِ وَيَتَدارسونَه بَينَهم، إلَّا نَزَلتْ عليهمُ السَّكينةُ، وغَشِيَتهمُ الرَّحمةُ، وحَفَّتهمُ المَلائكةُ، وذكَرَهمُ اللهُ فيمَن عندَه

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah diantara rumah-rumah Allah (masjid), mereka membaca kitabullah dan saling mempelajarinya, niscaya ketenangan akan turun pada diri mereka, kasihsayang akan meliputi mereka, para malaikat akan menaungi mereka, dan Allah akan menyebut mereka dihadapan malaikat yang ada disisiNya.” [HR. Muslim].

Allahu akbar, sungguh beruntung orang yang mendapatkan keempat keistimewaan tersebut.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mengistimewakan orang-orang yang menguasai Al-Qur’an dengan benar, sebagaimana beliau sebutkan dalam hadits berikut:

يؤُمُّ القومَ أقرَؤُهم لكتابِ اللهِ

“Yang paling berhak menjadi imam sholat adalah yang paling baik bacaan Al-Qur’annya” [HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan lainnya]

Dalam hadits lain beliau juga menyebutkan bahwa iri kepada ahli Al-Qur’an adalah termasuk iri yang diperbolehkan:

لا حَسَدَ إلَّا في اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ القُرْآنَ، فَهو يَتْلُوهُ آناءَ اللَّيْلِ، وآناءَ النَّهارِ، فَسَمِعَهُ جارٌ له، فقالَ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ ما أُوتِيَ فُلانٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ ما يَعْمَلُ، ورَجُلٌ آتاهُ اللَّهُ مالًا فَهو يُهْلِكُهُ في الحَقِّ، فقالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ ما أُوتِيَ فُلانٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ ما يَعْمَلُ

“Tidak dibenarkan iri kecuali pada dua perkara: 1. seorang lelaki yang Allah ajarkan kepadanya Al-Qur’an, lalu dia membacanya sepanjang malam dan siang, hingga tetangganya mendengar bacaan Al-Qur’annya dan tetangganya pun berkata, ‘seandainya aku diberi oleh Allah seperti yang diberikan kepadanya, niscaya aku akan melakukan hal yang dia lakukan’. 2. Seorang lelaki yang Allah berikan kepadanya harta melimpah, lalu dia mempergunakannya untuk kebenaran, hingga ada orang yang berkata, ‘seandainya aku diberikan harta seperti yang diberikan kepada lelaki tersebut, niscaya aku akan melakukan hal yang dia lakukan’” [HR. Al-Bukhori]

Iri hati pada hadits tersebut tentu saja adalah harapan mendapatkan dua hal tersebut tanpa menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut dari orang yang telah mendapatnya. Iri hati yang seperti ini diperbolehkan karena mengandung maslahat untuk akhirat. Adapun iri hati dalam urusan dunia tidak diperbolehkan dalam kondisi apapun.

Dengan senantiasa membaca dan menghafal Al-Qur’an juga dapat memberikan manfaat besar bagi kita di akhirat kelak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ

“Bacalah Al-Qur’an, karena dia akan menjadi syafa’at bagi pembacanya di hari kiamat kelak” [HR. Muslim].

Yang dimaksud dengan menjadi syafa’at dalam hadits tersebut yaitu Al-Quran akan datang pada hari pembalasan, meminta kepada Allah ta’ala agar mengampuni orang itu dan meninggikan derajatnya di surga.

Keutamaan membaca Al-Qur’an juga tidak terbatas kepada pembacanya saja, bahkan keutamaan tersebut akan turut dirasakan pula oleh kedua orangtuanya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من قرأ القرآنَ وتعلَّم وعمِل به أُلْبِس والداه يومَ القيامةِ تاجًا من نورٍ ضوءُه مثلُ الشَّمسِ ويُكسَى والداه حُلَّتَيْن لا يقومُ لهما الدُّنيا فيقولان بمَ كُسينا هذا فيُقالُ بأخذِ ولدِكما القرآنَ

“Barang siapa membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkan kandungannya, niscaya Allah akan pakaikan untuk kedua orangtuanya mahkota dari cahaya yang sinarnya seperti sinar matahari, dan akan dipakaikan pula gaun (perhiasan) yang lebih berharga daripada dunia ini. Kemudian kedua orangtuanya tersebut akan bertanya, ‘mengapa kami mendapatkan hadiah gaun ini?’, lalu akan dijawab, ‘karena sebab anak kalian yang memilih Al-Qur’an (yaitu membaca, mempelajari, dan mengamalkannya)’”. [HR. Al-Mundziri, dihasankan oleh Syekh Al-Albani].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa Al-Quran akan meninggikan derajat seseorang di surga:

يُقالُ لصاحبِ القرآنِ اقرأْ وارتقِ ورتِّلْ كما كنت تُرتِّلُ في الدنيا فإنَّ منزلَك عند آخرِ آيةٍ تقرؤُها

“Dikatakan kepada penghafal Al-Qur’an, bacalah dan naiklah! Bacalah sebagaimana kamu biasa membacanya di dunia, sesungguhnya derajatmu di surga sesuai dengan akhir ayat yang kamu baca.” [HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan lainnya].

Hadits tersebut memiliki makna bahwa orang yang mampu menghafal Al-Quran di dunia ini, maka tiap ayat yang dia baca dan hafalkan tersebut akan meninggikan derajatnya di surga sampai ke derajat yang tertinggi.

Kewajiban menjaga hafalan Al-Qur’an

Menjaga hafalan Al-Qur’an adalah kewajiban setiap penghafal Al-Qur’an, karena –meskipun Al-Qur’an ini mudah dihafalkan-, sangat mudah hilang dari ingatan seseorang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

تَعاهَدُوا القُرْآنَ، فَوالذي نَفْسِي بيَدِهِ لَهو أشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ الإبِلِ في عُقُلِها

“Jagalah hafalan Al-Quran, -demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya- hafalan Al-Qur’an itu lebih cepat hilang dari ingatan daripada unta yang kabur jika dia dilepaskan dari ikatannya.” [HR. Al-Bukhori dan Muslim].

Beberapa ulama berpendapat bahwa menghilangkan hafalan Al-Quran itu merupakan dosa besar, karena hafalan Al-Quran tidak akan hilang kecuali akibat adanya perbuatan dosa besar. Allah ta’ala tidak akan menghukum seseorang dengan hilangnya hafalan Al-Quran kecuali akibat dosanya sendiri. Semoga Allah ta’ala mengampuni orang-orang yang telah menghilangkan hafalan Al-Quran dan terus bertaubat mencari ampunan Allah.

Adab-Adab saat membaca dan mempelajari Al-Qur’an

Ada beberapa adab yang harus kita perhatikan saat membaca dan mempelajari Al-Quran, yaitu:

Pertama, Menyimak Al-Quran dengan seksama.

Setiap kali mendengarkan pembacaan Al-Quran kita harus diam dan menyimaknya, sebagai bentuk pengagungan kita terhadap Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“dan apabila dibacakan Al-Qur’an kepadamu maka diam dan simaklah bacaan tersebut, semoga dengan hal tersebut kamu mendapatkan kasih sayang-Nya” [QS. Al-A’rof : 204].

Kedua, menjaga Al-Qur’an agar tidak kotor.

Jangan biarkan mushaf Al-Qur’an menjadi mainan anak-anak, sehingga robek atau dicoret-coret isinya. Tempatkanlah mushaf pada tempat yang tinggi dan layak sehingga terjaga dari kotoran debu, air dan lainnya, serta jangan meletakkan Al-Qur’an pada bagian bawah tumpukan buku. Demikian pula tidak boleh kita menyandarkan punggung atau tangan kita pada mushaf. Karena perbuatan-perbuatan tersebut merupakan bentuk tidak hormat terhadap Al-Qur’an. Adab terhadap mushaf ini juga berlaku pada kaset, CD, atau flashdisk yang berisi khusus rekaman Al-Qur’an.

Jika  kita dapati ada mushaf yang sudah tidak layak dibaca karena adanya banyak coretan atau sudah terkoyak, cara menyelematkannya adalah dengan membakarnya. Karena dengan membakarnya, maka tidak ada lagi sisa mushaf yang akan tercecer dan bisa mengakibatkan semakin kotor dan tidak terurus. Hal ini pernah dilakukan oleh sahabat Nabi, Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ketiga, jangan membaca Al-Quran di tempat yang kotor atau tempat yang tidak layak seperti kamar mandi.

Keempat, bacalah Al-Qur’an dengan ketenangan pikiran dan hati yang penuh hormat. Tidak boleh cepat dalam membaca Al-Quran seperti membaca koran atau majalah. Namun Al-Quran harus dibaca pelan-pelan dan penuh ketenangan.

Kelima, jika tidak dibaca jangan biarkan mushaf dalam kondisi terbuka. Setelah selesai membaca Al-Qur’an, hendaklah kita menutup Al-Qur’an dan meletakkannya pada tempat yang tinggi dan layak. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam muqoddimah kitab tafsirnya.

Keenam, tidak boleh menguap atau kentut ketika membaca Al-Qur’an.

Ketujuh, tidak boleh menyentuh Al-Quran jika belum bertaharah (bersuci). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

لا يَمَسَّ القرآنَ إلَّا طاهرٌ

“Tidak seorang pun boleh menyentuh Al-Quran kecuali dia dalam keadaan suci” [HR. Ahmad]

Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu ‘anhuma berkata, 

كنتُ أُمسكُ المصحفَ على سعدٍ فاحتكَكْتُ فقال سعدٌ : لعلك مَسَسْتَ ذَكَرَكَ ؟ قلتُ : نعم . قال : قُمْ فتوضَّأْ . قال : فقُمتُ فتوضَّأْتُ ثم رجَعتُ

“suatu hari aku memegang mushaf dihadapan ayahku, lalu aku menggaruk kemaluanku karena gatal. Ayahku kemudian berkata, ‘kamu memegang kemaluanmu?’.

‘iya’, jawabku.

‘kalau demikian pergilah berwudhu terlebih dahulu’, perintah ayahku.

Aku pun berdiri dan mengambil wudhu’ lalu setelahnya kembali memegang mushaf.” [diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan dishohihkan oleh Syekh Al-Albani].

Ilmu Tajwid

Arti Tajwid dan cakupan pembahasannya

Tajwid secara linguistik berasal dari kata (جَوَّدَ - يُجَوِّدُ)  yang memiliki arti memperbagus dan memperindah sesuatu. Sedangkan secara istilah, tajwid adalah mengucapkan tiap huruf dari titik artikulasinya serta memberikan tiap huruf karakteristiknya dan melakukannya dengan benar.

Dari pengertian tersebut, maka dapat kita pahami bahwa pembahasan dalam tajwid ada tiga perkara, yaitu:

Pertama, mengartikulasi tiap huruf dari titik artikulasinya.

Tiap huruf Arab (hijaiyah) memiliki titik artikulasi saat kita mengucapkannya, misalnya huruf “mim” (م) ini datang dari bibir, inilah yang disebut dengan titik artikulasinya. Mempelajari titik artikulasi tiap huruf hijaiyah dikenal dengan istilah makhorijul huruf.

Kedua, memberikan tiap huruf sifatnya masing-masing.

Tiap huruf memilki sifatnya masing-masing sehingga ketika kita mengucapkan huruf hijaiyah harus sesuai dengan sifatnya masing-masing tersebut. Contoh, ketika kita ingin mengucapkan “shod” (ص) maka harus dengan berat. Huruf shod juga memiliki sifat isti’la’ yaitu memiliki sifat tinggi dan berat. Sehingga cara membaca huruf “shod” adalah dengan menaikan lidah. Sedangkan untuk huruf “sin” (س), memiliki sifat ringan tidak seberat shod, sehingga lidah kita lebih rendah saat mengucapkan “sin”.

Ketiga, melakukan dengan benar.

Maksudnya adalah kita menerapkan kaidah-kaidah ilmu tajwid dengan benar saat kita membaca Al-Qur’an. Terkadang  sifat huruf itu datang pada keadaan tertentu, misalnya idgham, ketika nun sukun (نْ) bertemu dengan “ya” (ي), maka nun sukun harus diucapkan dengan aturan idgham, contohnya saat kita membaca “famayya'mal” (فَمَنْ يَعْمَل), maka nun sukun tidak boleh diucapkan “faman ya'mal”, namun diucapkan menjadi “famayya'mal”.

Keutamaan dan penerapan ilmu tajwid

Ilmu tajwid merupakan ilmu khusus yang hanya diterapkan pada Al-Qur’an saja, tidak pada tulisan arab lain, seperti koran atau majalah. Bahkan pendapat yang shohih, ilmu tajwid tidak diterapkan pada hadits. Karena berkaitan dengan Al-Qur’an secara khusus, ilmu tajwid menjadi sangat mulia, dimana mempelajari dan menerapkannya adalah bagian dari pengagungan terhadap Al-Qur’an.

Manfaat mempelajari tajwid

Manfaat dari mempelajari tajwid adalah agar kita tidak terjatuh kepada kesalahan ketika membaca Al-Qur’an, karena terkadang kesalahan dalam membaca Al-Qur’an dapat berakibat fatal. Misalnya, ketika membaca firman Allah ta’ala (وَاذْكُرُوا إِذْ كُنتُمْ قَلِيلًا فَكَثَّرَكُمْ) yang memiliki arti, “dan ingatlah ketika kalian berjumlah sedikit, lalu Allah jadikan kalian menjadi banyak.” Jika huruf “tsa” (ث) pada kalimat (فَكَثَّرَكُمْ) dibaca secara salah menjadi huruf “sin” (س), maka artinya akan sangat berubah menjadi “dan ingatlah ketika kalian berjumlah sedikit, lalu Allah patahkan (hancurkan) kalian”. Salah baca satu huruf saja, artinya sangat jauh berbeda. Padahal antara huruf “tsa” (ث) dan “sin” (س) memiliki kemiripan dalam pengucapan. Disinilah pentingnya mempelajari tajwid.

Pencetus ilmu tajwid

Ilmu tajwid diambil dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an, kemudian oleh para ulama dirangkum menjadi kaidah-kaidah ilmu tajwid. Para ulama berselisih pendapat siapakah yang pertama kali menulis ilmu tajwid. Banyak yang berpendapat, Abul Aswad Ad-Duali lah yang pertama kali menulis ilmu tajwid, ada pula yang berpendapat Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam dan ada yang menyebut Al-Kholil bin Ahmad Al-Farohidi.

Penulisan ilmu tajwid didasari karena Islam telah tersebar keberbagai belahan dunia, sehingga banyak kaum muslimin dari kalangan non-Arab yang tidak dapat membaca Al-Qur’an dengan benar. Sehingga para ulama khawatir jika mereka tidak menuliskan kaidah-kaidah ilmu tajwid maka banyak kamu muslimin yang akan kesulitan membaca Al-Quran yang sesuai dengan cara bacaan Rasulullah. Hal ini merupakan salah satu cara Allah ta’ala melindungi Al-Quran dengan memerintahkan para ahli tajwid meletakan pondasi aturan tajwid, sehingga tiap orang bisa membaca dan menerapkannya.

Hukum mempelajari ilmu tajwid

Mempelajari ilmu tajwid secara teoritis hukumnya fardhu kifayah, sedangkan membaca Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid hukumnya fardhu ‘ain. Dalil dari hal ini telah kami singgung diatas, yaitu perintah Rasulullah agar para sahabat mengambil ilmu cara membaca Al-Qur’an dari empat sahabat : Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal, dan Ubai bin Ka’ab. Selain itu, sebagaimana telah kita singgung pula, bahwa membaca Al-Qur’an merupakan ibadah, sedangkan syarat diterimanya sebuah ibadah adalah ikhlas dan mutaba’ah. Maka dalam membaca Al-Qur’an, harus sesuai dengan cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya.

Prinsip dalam mempelajari ilmu tajwid

Ada empat prinsip yang harus dipegang seseorang dalam mempelajari dan menerapkan tajwid, yaitu:

Prinsip pertama, mengartikuasikan huruf dari titiknya,atau makharijul huruf, yaitu mengetahui dari mana asalnya huruf. Misalnya, huruf 'ain (ع) titik artikulasinya adalah dari tenggorokan bagian tengah.

Prinsip kedua, mengetahui sifat huruf dan menerapkan sifat ini. Contoh: salah satu karakteristik dari huruf “ba” (ب) jika huruf itu berharokat sukun maka berlaku aturan qalqalah yang artinya anda harus memberikan getaran suara ekstra, demikian juga pada huruf “dal” (د) pada kalimat (قل هو الله أحد), membaca “ahad” (أحد) tidak boleh hanya langsung berhenti, namun harus dibaca “ahadd” suara dal yang bergetar (bergerak). Inilah yang disebut sebagai salah satu sifat dari huruf dal jika dengan harakah sukun. Maka yang harus diterapkan adalah sifat qalqalah.

Prinsip ketiga, aturan yang harus diterapkan pada tiap huruf berdasarkan sususan kata atau kalimatnya. Misalnya “nun sukun” (نْ) diikuti “ya” (ي), maka harus menerapkan idgham. Kalimat pada ayat (فمن يعمل) diucapkan menjadi “famayya'mal”. Jadi memasukan “nun sukun” (نْ) ke dalam “ya” (ي), oleh sebab itu yang anda dengar adalah “ya” dengan gunnah, dengan suara sengau.

Prinsip keempat, melatih lidah dan terus mengulanginya. Hal ini dimaksudkan agar terbiasa dan semakin baik dalam membaca Al-Qur’an. Diawal belajar ilmu tajwid, sangat terbuka lidah kita banyak menemui kesalahan, namun dengan banyak latihan  akan bertambah baik dan semakin sempurna kemampuan kita dalam membaca Al-Qur’an.

Wallahu a’lam.

========

* Tulisan ini diambil dari transkip ceramah Syekh Ahmad Abdul Wahhab pada mata kuliah Tajwid 101, program Islamic Studies, International Open University, dengan beberapa penyesuaian.

 


0 komentar:

Posting Komentar