Blogger templates

Minggu, 06 September 2020

Mengenal Buku Hilyah Tholibul Ilmi Karya Syekh Bakr Abu Zayd Rahimahullah*

 


Alhamdulillah, sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kehadirat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beserta keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman.

Buku “Hilyah Tholibul Ilmi” merupakan buku yang cukup masyhur dikalangan para penuntut ilmu, buku ini merupakan panduan penting bagi orang-orang yang memutuskan untuk serius menuntut ilmu syar’i.

Di Program S1 jurusan Islamic Studies, International Open University (IOU), buku ini menjadi buku wajib dalam mata kuliah Etika Menuntut Ilmu 101 di semester 1, dimana tujuaanya agar mahasiswa berada di jalur yang benar dan dapat mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh IOU, maupun ketika mempelajari ilmu di tempat/ lembaga lain.

Syekh Bakr Abu Zayd lahir pada tahun 1944 dari suku Zayd, di tengah-tengah Najd, kota Shaqra, dan meninggal di Riyadh pada tahun 2008. Beliau menyelesaikan Pendidikan Menengah di Riyadh. Kemudian melanjutkan pendidikan tingi College of Shari'ah di Ibn Saud University serta menyelesaikan gelar Master dan PhD-nya disana di Higher Institute of Law.

Saat menempuh pendidikan S1 hingga S3 beliau mengambil program intisab (non-reguler), sehingga beliau tidak duduk di kelas, tetapi belajar secara pribadi dari banyak Ulama terkemuka seperti Syekh Muhammad Al-Amin As-Shanqiti rahimahullah di kota Madinah. Beliau mempelajari banyak buku dari Ulama tersebut dan membacakan kembali kitab-kitab tersebut kepada gurunya. Beliau belajar secara klasik dengan cara membacakan kembali kitab-kitab kepada guru dan guru menjelaskan kitab tersebut, kemudian diakhir sesi pembelajaran murid dipersilahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Setelah selesai belajar satu kitab sang Guru memberikan ijazah kepada muridnya, sebagai izin untuk mengajarkan kembali naskah tersebut kepada orang lain.

Selain berguru kepada Syekh Muhammad Al-Amin As-Shanqithi, beliau juga belajar di bawah bimbingan Syekh bin Baz.

Beliau kemudian dipercaya untuk menduduki jabatan Hakim dan diangkat sebagai anggota Mahkamah Agung dan Dewan Ulama Senior, serta terpilih sebagai Perwakilan Majelis Internasional Hukum Islam dan kemudian terpilih menjadi Presidennya. Beliau telah menulis 66 buah judul buku. Diantara karya-karyanya yang terkenal:

·         Aqidah Ibnu Abi Zayd-Ulama Maliki

·         'La Jadidah fii Ahkami as-Salah' -"Tidak Ada yang Baru dalam Tata Cara Shalat", menyoroti hal-hal ekstrim yang sering dilakukan orang ketika shalat, yang kemudian mengarah menjadi tata cara yang aneh dan tidak biasa.

·         'At Tahdits Bi Maa Laa Yasihhu Fihi Hadits', atau "Hadits-hadits Palsu yang Sering Diriwayatkan."

Kitab “Hilyah” ditulis pada tahun 1408 H, sebagaimana yang disebutkan sendiri oleh Syekh Bakr dalam Pendahuluannya. Tahun tersebut bertepatan dengan tahun 70-an akhir atau awal tahun 80-an Masehi di mana sebuah revolusi besar terjadi. Insiden pertama pada kurun waktu tersebut adalah Revolusi Iran, ketika Khomeini berkuasa setelah menggulingkan rezim Shah.

Sebuah perubahan besar terjadi dalam Islam Syi'ah. Dimana dahulu kaum syi’ah meyakini bahwa urusan agama harus dipisahkan dari urusan perpolitikan/ pemerintahan, hingga kemunculan Imam Mahdi. Mereka telah meninggalkan urusan pemerintahan kepada siapa pun yang mau mengambil tampuk pemerintahan. Kemudian, Khomeini mengembangkan filsafat baru yang disebut 'Wilayatul Faqih' atau 'Perwalian Ulama', dan mengembangkan sebuah pemikiran rasional teokrasi, di mana negara harus diawasi oleh para ulama terkemuka dunia Islam (namun yang  mereka maksud dengan ulama Dunia Islam adalah Ulama Syi’ah Iran).

Faham wilayatul faqih yang dikembangkan oleh Khomeini ini menjadi pemicu berbagai gerakan di dunia Islam, diantaranya:

1. Revolusi Islam (Syi’ah) di Iran

Khomeini menyebutnya sebagai Revolusi Islam dan bukan sebagai Revolusi Syi'ah, meskipun kenyataannya berbeda. Tujuannya adalah untuk menarik simpati orang-orang agar menerima pemikirannya.

Kaum Muslim pada waktu itu begitu terpengaruh oleh gagasan Khomeini bahwa sebuah Negara Islam bisa terwujud. Revolusi Iran berjalan sukses, dimana Rezim Shah yang berkuasa atas Iran pada saat itu terlalu disibukkan oleh kekayaannya, sehingga mengendalikan negara dan hal-hal semacam ini menjadi terabaikan. Elemen keagamaan Khomeini dengan dibantu kelompok Komunis dan demokratis berhasil merebut kendali dan mencetuskan revolusi.

2. Insiden Mekah-Penyerangan Ka'bah (1980)

Ka'bah diserang setelah musim haji pada tahun itu. Banyak yang berspekulasi bahwa ini adalah gerakan yang didalangi oleh Syi'ah, sementara yang lainnya berspekulasi bahwa ini didalangi CIA, karena adanya pembakaran beberapa kedutaan di berbagai negara, sehingga mereka mempercayai bahwa Barat berada di belakang semua ini.

Namun sebelum kejadian itu berlangsung, di dalam Arab Saudi sendiri telah muncul sebuah gerakan yang dimotori oleh beberapa pemuda dari kalangan mahasiswa dari Universitas Islam Madinah dan beberapa ‘murid’ Syekh Nashirudin Al-Albani dan Syekh Bin Baaz. Para pemuda tersebut memiliki keinginan untuk menerapkan Syari’at Islam, akan tetapi mereka memilih jalur sendiri tidak lagi dibawah bimbingan guru-guru mereka, sehingga syaithon mampu menghembuskan sebuah gagasan menyesatkan ke dalam kelompok tersebut, mereka membangun keinginan untuk menerapkan syari'ah.

Kelompok tersebut secara lantang menyatakan perlawanan terhadap pemerintah Arab Saudi dengan tuduhan adanya korupsi dan kerusakan dalam tatatan beragama. Kelompok ini didalangi oleh Mahasiswa Universitas Islam Madinah yang juga mantan anggota Garda Nasional Kerajaan Arab Saudi, dia bernama Juhaiman bin Muhammad bin Saif Al-‘Utaibi.

Kisah terbentuknya kelompok ini berawal dari saudara perempuan Juhaiman yang bermimpi bahwa dia akan menikah dengan 'Imam Mahdi' yang bernama Muhammad bin Abdullah Al-Qahthani, seorang mahasiswa tahun ketiga di Ibn Saud University, yang juga seorang Imam dan Khatib.

Muhammad Al-Qahthani adalah orang yang sangat populer pada saat itu, hingga jalanan akan dipenuhi oleh Ummat yang ingin mendengarkannya berceramah pada Khutbah Jumat. Kemudian dia dibatasi oleh pemerintah hingga dilarang sepenuhnya dari memberikan ceramah di depan umum dan akhirnya dia hanya bisa memberikan ceramah melalui rekaman.

Al-Qahthani kemudian memutuskan untuk pindah ke Madinah dan beberapa pengikutnya mengarahkannya untuk pindah ke sebuah desa di tengah padang pasir, di mana Juhaiman dan keluarganya berkumpul.

Saudara perempuan Juhaiman kemudian mengenalinya sebagai, 'Imam Mahdi' yang dinantikan. Pada awalnya Al-Qahthani tidak menerima pandangan ini, karena ia adalah seorang mahasiswa syariah. Namun memang ada beberapa kesamaan seperti, ayahnya bernama Abdullah, ibunya bernama Aminah, dan ia dari suku Qahthan[1] (suku asli Arab), serta beberapa ciri lainnya.

Kedustaan yang digaungkan berulang-ulang pada akhirnya akan terdengar seperti sebuah kebenaran, begitulah prinsip kesesatan. Hal ini pun yang menjadikan Muhammad Al-Qahthani menerima gagasan bahwa dirinya adalah Al-Mahdi.

Setelah Al-Qahthani mengikrarkan dirinya sebagai Al-Mahdi, kelompok ini kemudian pergi ke Ka'bah untuk melaksanakan prosesi bai'at, kaum muslimin yang berada di dalam masjidil haram pada saat itu dipaksa untuk membai’at Al-Qahthani. Insiden bai’at ini akhirnya berubah menjadi sebuah pemberontakan, namun berhasil ditangai secara cepat oleh pihak keamanan Arab Saudi. Bentrokan pun tak terhindarkan terjadi di dalam Masjidil Haram yang menimbulkan banyak korban jiwa termasuk Al-Qahthani itu sendiri.

Juhaiman dan kelompoknya yang selamat dalam insiden tersebut ditangkap dan kemudian dieksekusi mati.

3. Kudeta di Mesir

Pada tahun 1981 di Mesir, Jama'ah Al Islamiyah dan beberapa cabang jihad dari Ikhwanul Muslimin, berniat untuk melakukan makar terhadap pemerintah Mesir saat itu. Mereka menyandera beberapa pejabat dan mengeksekusinya untuk merebut kekuasaan dan membuat perubahan dalam pemerintahan. Diantara yang mereka bunuh adalah Presiden Mesir, Muhammad Anwar Sadat.

Tidak hanya pemerintahan, kelompok ini juga menyerang sejumlah wisatawan asing sehingga membuat negara bertekuk lutut, karena devisa Mesir sangat tergantung pada sektor pariwisata. Mereka berharap bahwa setelah mereka melakukan itu, orang akan mendukung mereka, namun mereka keliru. Khalid Al-Islamboli yang menjadi dalang kerusuhan ini kemudian ditangkap, dan kudeta berakhir.

4. Pembantaian Orang Suriah di Hamat oleh Hafizh Assad

Pada tahun 1982 , di Suriah, tepatnya di kota Hamat, kelompok Islamis mengambil alih kota dan mengusir orang-orang partai Ba’its, partai yang berkuasa di suriah.

Partai Ba’its merupakan partai dengan ideonlogi yang mirip dengan komunisme, saat itu di bawah pimpinan Presiden Hafizh Assad, ayah dari Bashar Assad.

Pemerintah Suriah mampu mematahkan kelompok yang dianggap melakukan pemberontakan tersebut, akan tetapi ribuan nyawa menjadi korban.

5. Pengeboman Kedutaan AS

Pada tahun 1983, kedutaan AS di Beirut dibom dan diluluhlantakkan. Tujuh belas orang dinyatakan hilang dan 63 lainnya tewas. Kejadian tersebut diikuti dengan serangan terhadap Kedutaan Prancis di Kuwait.

Semua insiden tersebut diatas memiliki kaitan dengan gerakan Islam yang diwarnai dengan kekerasan. Inilah yang mendorong Syekh Bakr Abu Zayd menulis karya fenomenal ini, agar semangat para pemuda penuntut ilmu dapat terarahkan dengan benar dan tidak mudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain yang mengakibatkan keluar dari jalur Islam yang haq.

Tindakan ekstrimis dari sebagian kelompok Islam telah ada pendahulunya dari kaum Khawarij, dimana beberapa pengikutnya memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu dan berbalik melawan beliau dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhum. Disebut “khawarij”, karena Kelompok ini memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin, menentang pemerintah Islam yang sah, dan akhirnya mereka justru membantai umat Islam sendiri atas nama Islam yang murni serta mengkafirkan kaum muslimin.

Syekh Bakr Abu Zayd menyebut fenomena menyimpangnya para penuntut ilmu dari jalur keilmuan yang benar dengan istilah “ta'aalum” (تعالم), yang memiliki arti bahwa seseorang nampak belajar namun sesungguhnya tidak benar-benar belajar (menyerap ilmunya). Terkait fenomena “ta’aalum” ini Syekh Bakr Abu Zayd menulis sebuah karya dengan judul “At-Ta'aalum wa Atsaruhu ‘Alal Fikri wal Kitab” (التعالم وأثره على الفكر والكتاب) sebagai bentuk kepedulian beliau terhadap semangat Ummat di era 80-an.

Tujuan Penulisan Kitab Hilyah

Tujuan penulisan kitab “hilyah” sebagaimana beliau sampaikan pada Pendahuluan adalah sebagai panduan bagi para penuntut ilmu agar mengetahui adab-adab mulia, dimana ketika seorang penuntut ilmu kehilangan adab-adab tersebut niscaya mereka akan menyimpang dan akan terhiasi dengan perilaku-perilaku buruk.

Syaikh Bakr Abu Zayd juga menyebutkan betapa pentingnya untuk mempelajari sejarah peristiwa yang terjadi selama kurun waktu tersebut, yang mana banyak insiden (serupa) yang terjadi berulang-ulang. Periode tersebut adalah masa dimana dunia Islam sedang mencari perubahan, banyak kaum muslimin yang tergerak untuk mempelajari lebih dalam tentang agamanya, namun juga ada orang-orang yang mempromosikan pemahaman yang menyimpang dari Islam dan menyimpang dari apa yang telah diajarkan sebagai jalan kebenaran dari generasi sebelumnya.

Wallahu a’lam.

========================================

* Tulisan ini diambil dari transkip ceramah Syekh Dr. Bilal Philips pada mata kuliah Etika Menuntut Ilmu 101, program S1 Jurusan Islamic Studies, International Open University, dengan beberapa penyesuaian.

 

Sedikit tentang Dr. Bilal Philips.

Beliau lahir pada 7 Januari 1947 di Jamaica, besar di Kanada dan memutuskan untuk memeluk Islam pada 1972. Beliau selanjutnya melanjutkan studi S1 di Universitas Islam Madinah, lalu mengambil S2 di Universitas King Saud, Arab Saudi dan menyelesaikan program Doktoralnya di University of Wales, Inggris.

Pada tahun 2001, Dr. Bilal Philips menggagas pendirian sebuah Universitas berbasis online, yang kini telah eksis dengan sebutan International Open University, berpusat di Gambia.

Buku-buku pertama Dr. Bilal Philips yang diterbitkan berkisar seputar masalah Syiah. Beliau memiliki akses kepada Mu'alaf Barat, yang tidak paham tentang Syiah, sehingga (tanpa disadari) mereka memeluk Syi'ah (bukan Islam-pent.). Tujuan utama dari dakwah Syiah, adalah menggiring Muslim kepada Syi'ah. Oleh karenanya, Dr. Bilal menulis buku-buku ini untuk membuka kedok Syi'ah dihadapan para Muallaf, di antara buku tersebut adalah 'The Devils Deception of the Shia'. Buku ini adalah buah karya Ibnu Jauzi yang diterjemahkan. 'The Mirage in Iran' (Fatamorgana di Iran), adalah sebuah terjemahan dari buku buah karya seseorang dengan nama pena Ahmad Al Afghani. Peranan Syiah dalam perjuangan Umat Muslim menghadapi perang salib menjadi sorotan. Syiah telah bersekutu dengan orang Mongol dan membantu mereka untuk mengambil alih teritorial Muslim, dengan demikian Syi'ah telah memainkan peran penting dalam membantu penghancuran Umat Muslim dan bekerjasama dengan Non-Muslim.

' Al Khoemini bayna al I'tida Watatarruf' - ' Khomeni : a Fanatic or Moderat '  adalah sebuah buku yang menunjukkan bahwa ia mempromosikan ide-ide dasar yang sama dari Syi'ah. Mereka berfokus pada intermediasi dimana para imam yang menjadi perantara antara Allah dan manusia, berdoa kepada Hasan, Husein, Ali dan Fatimah, dan menyembah mereka dengan mengatasnamakan beribadah kepada Allah. Masalah-masalah dalam Fiqih juga membedakan mereka dari arus utama Islam, meskipun perbedaan-perbedaan juga dapat terjadi diantara berbagai aliran pemikiran dalam arus utama Islam. Masalahnya, perbedaan utama mereka bukanlah karena, misalnya, mereka shalat dengan tangan di samping, atau nikah mut'ah, atausodomi dan lainnya. Masalah utama terletak pada konsep ketuhanan dan menyeru kepada selain Allah.



[1] Hal ini tidak tepat, karena Al-Mahdi bukan dari suku Qahthan, namun dari suku Quraisy. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لا تذهب -أو لا تنقضي- الدنيا حتى يملك العرب رجل من أهل بيتي يواطئ اسمه اسمي

“tidak akan hancur dunia ini, hingga wilayah Arab tunduk pada seorang lelaki dari kalangan ahlul bait-ku, namanya sama dengan namaku” [HR. Ahmad]

Sementara hadits yang menyebutkan bahwa akan muncul seorang pria dari Suku Qahthan yang akan dita’ati oleh kaum muslimin, bukanlah Al-Mahdi.

لا تقوم الساعة حتى يخرج رجل من قحطان يسوق الناس بعصاه

“Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga muncul seorang lelaki dari suku Qahthan, dia akan memimpin manusia dengan tongkatnya.” [HR. Muslim]

Suku Qahthan merupakan suku Arab asli dari wilayah Yaman, dan kemunculan pria Al-Qahthani ini akan terjadi sebelum kemunculan Imam Al-Mahdi.

0 komentar:

Posting Komentar