Blogger templates

Kamis, 22 Oktober 2020

Positivisme dan Ekonomi Islam

 

Positivisme dan Ekonomi Islam[1]

Oleh : Aminullah Yasin[2]

 

Pada abad 19, Auguste Comte mengenalkan satu aliran filfasat baru yang disebut Positivism, yang sebenarnya merupakan pengembangan dan bentuk ekstrim dari teori empirisme (O.Hasbiansyah, 2000). Aliran positivisme menekankan bahwa suatu teori/ pandangan dianggap benar jika dapat dibuktikan dengan fakta-fakta melalui observasi (verifikasi), sehingga teori dan ilmu pengetahuan tak lain adalah untuk mengungkapkan kebenaran tentang realitas (Sugiyono, 2001).

Disebut positivisme karena aliran ini menganggap bahwa hal yang positif merupakan apa yang berdasarkan fakta obyektif (Fata & Noorhayati, 2016), positivisme menekankan aspek faktual dalam pengetahuan ilmiah dan menafikan filsafat atau pengetahuan yang tidak bisa diverifikasi secara faktual.

Aliran positivisme dalam penelitian berkembang menjadi penelitian dengan paradigma kuantitatif. Paradigma positivisme jika diimplementasikan dalam penelitian ilmiah adalah untuk menguji kebenaran atau menerapkan sesuatu teori. Metode yang digunakan adalah empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika (termasuk yang non parametrik atau yang diskriptif), generaslisasi, dan berbagai teknis studi kuantitatif serta didesain dengan model-model kalkulatif (Sjafruddin, 2017).

Aliran positivisme dengan metode kalkulatifnya yang mengobservasi sebuah fenomena dan mendeskripsikannya dengan H0 dan H1, dinilai oleh banyak ahli sosial tidak tepat jika masuk dalam rumpun ilmu-ilmu sosial, karena bagaimanapun dalam penelitian ilmu sosial memiliki banyak variabel yang saling terkait dan sering tidak terjangkau oleh penelitian positivisme.

Namun dalam perkembangan pemikiran di dunia barat, banyak ilmuwan yang ingin keluar dari dogma kebenaran berdasarkan religiusitas (agama), sehingga teori positivisme disambut positif dan tersebar secara massif kedalam perbagai cabang dan rumpun ilmu pengetahuan, termasuk rumpun ekonomi (Fata & Noorhayati, 2016).

Pandangan positivisme yang telah masuk kedalam ilmu ekonomi konvensional, tanpa sadar kemudian masuk kedalam Ekonomi Islam. Sementara Ekonomi Islam itu sendiri merupakan bentuk islamisasi dari ekonomi barat, meski istilah ekonomi itu sendiri di barat tidak memiliki term yang jelas, Jacob Viner seorang ekonom barat pernah menyatakan bahwa ekonomi merupakan hal-hal yang dilakukan oleh para ekonom itu sendiri (Al Lihyani, 2008). Pengertian ini tentu saja tidak memberikan batasan pasti tentang apa itu ekonomi.

Dr. Al Lihyani, pakar ekonomi dari Ummul Quro University, Mekkah – Arab Saudi menyatakan bahwa cakupan ilmu ekonomi sangatlah luas, karena berbicara tentang pengelolaan harta secara luas, sehingga istilah Ekonomi meskipun tergolong baru, namun secara praktik, manusia telah bergelut dalam bidang ekonomi jauh sebelum ilmu ekonomi dikenal secara istilah oleh para pakar. Dari sini, sebagian ahli ekonomi Islam menjelaskan bahwa istilah ekonomi Islam itu adalah nama lain dari Fikih Muamalah (Kamal, 1988), sedangkan Dr. Syauqi Al-Fanjari, memandang bahwa dalam memahami ekonomi Islam harus melihat dua sisi sekaligus: sisi tsabit (fixed) dan sisi mutaghoyir (changeable). Sisi tsabit dalam ekonomi Islam adalah hal-hal prinsip yang telah dijelaskan didalam aturan Islam itu sendiri (Al-Qur’an dan As-Sunnah), sementara sisi mutaghoyir adalah yang berkaitan dengan sisi praktis yaitu bagaimana aturan-aturan baku didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah itu diimplementasikan dalam kehidupan perokomian masyarakat (Al-Fanjari, 1994).

Apa yang ditegaskan oleh Dr. Al-Fanjari sebenarnya membuka satu pengertian bahwa ekonomi Islam merupakan suatu cabang ilmu yang ‘luwes’ namun berprinsip. Hal ini dalam kajian fikih muamalah akan didapati kaidah :

الأصل في المعاملات الحل

Artinya: “hukum asal segala transaksi muamalah adalah halal”

Kaidah tersebut menjadi pedoman utama dalam menentukan hukum transaksi muamalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab Majmu’ Fatawa (28/386) menyatakan bahwa hukum asal segala transaksi muamalah yang dilakukan oleh orang-orang adalah tidak terlarang, kecuali jika ada dalil dari al-Qur’an atau as-Sunnah yang menjelaskan akan keharaman transaksi tersebut (Al Mosleh, 2017).

Keluwesan Ekonomi Islam ini, menjadikan Ekonomi Islam menerima pandangan apapun selama tidak menyelesihi fixed principles dalam agama Islam. Lalu bagaimana dengan pandangan positivisme? Apakah pandangan positivisme dapat dikompromikan dengan Ekonomi Islam?

Ekonomi Islam dalam hal fixed principles harus kita kembalikan kepada landasan utama bahwa kebenaran dalam Islam bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan bersumber kepada empiris sebagaimana pandangan teori positivisme. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

Artinya: “dan tidak boleh bagi seorang laki-laki beriman dan wanita beriman bimbang ketika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sesuatu untuk urusan mereka. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata” (QS. Al-Ahzab: 36)

Lalu dalam hal mutaghoyir (changeable) atau sisi praktis, Ekonomi Islam menerima berbagai pandangan dan idea-idea selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, berdasarkan Firman Allah ta’ala :

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

Artinya: “dan telah kami jelaskan hal-hal yang diharamkan atas kalian” (QS. Al-An’am: 119)

Ayat diatas dipahami bahwa segala sesuatu baik itu makanan, minuman, pakaian, akad muamalah, dan syarat-syarat dalam muamalah yang tidak dijelaskan keharamannya oleh Allah dan Rasul-Nya, maka hukumnya adalah halal/ boleh (Al Mosleh, 2017).

Sebagaimana telah diutarakan diawal, bahwa aliran positivisme menolak segala sesuatu kecuali memiliki landasan empiris. Pandangan ini merupakan bentuk pemikiran ekstrim, karena ilmu ekonomi islam yang faktualnya adalah manusia sebagai pelaku ekonomi diperlakukan sama layaknya gejala kehidupan material ataupun benda mati. Sebagai pelaku ekonomi, tidak bisa dianalogikan sama dengan eksperimen yang dapat diukur prilakunya menurut skala skala tertentu. Kepentingan manusia tentang ekonomi dan tujuannya tidak dapat ditinjau menurut sudut pandang barang atau binatang; tidak juga homo economicus semata, tetapi sekaligus homo metaphysicus maupun homo ethicus dan homo sapiens. Di balik tindakan ekonomi manusia selalu terdapat dimensi nilai yang dianutnya (Sjafruddin, 2017). Selain itu, dalam ilmu ekonomi, perlu dipahami bahwa ketika dalam suatu penelitian ditemukan, Y diakibatkan oleh X, maka sebetulnya penyebebanya bukan sekedar X, sebagaimana diyakini positivisme. Disamping X, terdapat variabel-variabel lain, yang saling berinteraksi dan menyebabkan Y. Selain itu, X bersama variabel-variabel lainnya itu tidak hanya menimbulkan Y, tapi juga mengakibatkan yang lainnya. Sehingga disini telah terjadi reduksi terhadap realitas yang sebenarnya (O.Hasbiansyah, 2000)

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas dapat kita simpulkan:

1.      Pandangan positivisme yang menganggap bahwa kebenaran harus memiliki landasan empiris, tertolak dalam sisi fixed principles Ekonomi Islam. Sedangkan dalam sisi praktis (mutaghoyir/ changeable) menjadikan empirisme sebagai landasan dalam menentukan satu pandangan, tidaklah terlarang.

2.      Meskipun tidak mengapa menjadikan empirisme sebagai landasan dalam sisi praktis Ekonomi Islam, namun perlu diketahui bahwa empirisme dalam penelitian Ekonomi Islam, termasuk juga ekonomi konvensional, tidak dapat digeneralisir dan dipastikan kebenarannya.

 

 

 

Referensi

Al-Fanjari, M. S. (1994). الوجيز في الاقتصاد الاسلامي. Cairo: SHOROK.

Al Lihyani, S. H. (2008). مبادئ الإقتصاد الإسلامي. Mekkah: Ummul Quro University.

Al Mosleh, K. (2017). أصول في المعاملات المالية. Riyadh: https://almosleh.com/ar/49701. Retrieved from https://almosleh.com/ar/49701

Fata, A. K., & Noorhayati, S. M. (2016). Sekularisme dan Tantantanga Pemikiran Islam Kontemporer. MADANIA, 20(2), 215–228.

Kamal, Y. (1988). فقه الإقتصاد الإسلامي : النشاط الخاص. دار القلم.

O.Hasbiansyah. (2000). Penimbang Positivisme. Mediator: Jurnal Komunikasi, 1(1), 123–133.

Sjafruddin. (2017). Islamic Economic Research Paradigm - Critical writing on Positivism in Islamic Economic Research. Jurnal Ekonomi Islam, (December 2014), 0–17.

Sugiyono, A. (2001). Metodologi Ekonomi Positivisme, (January 2001), 1–10. https://doi.org/10.13140/2.1.4065.9841



[1] Tugas Mata Kuliah Ekonomi Islam, dibawah bimbingan Bayu Taufiq Possumah, Ph.D

[2] Mahasiswa Pascasarjana Magister Ekonomi Syari’ah IAI TAZKIA, tahun 2020.

0 komentar:

Posting Komentar