Blogger templates

Selasa, 16 Juni 2020

6 Alasan Kenapa Pesantren "Harus" Masuk Tatap Muka Ditengah Pandemi Covid-19 (sebuah sudut pandang)

By. Aminullah Yasin. 

Keputusan bersama antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Agama, Kementrian Dalam Negeri, BNPB dan Komisi X DPR RI pada senin yang lalu (15/6/2020) terkait pembelajaran tahun pelajaran 2020/2021 tidak menyurutkan niatan dan semangat banyak pesantren untuk memulai kegiatan tatap muka pada awal juli nanti -bahkan sebagian pesantren ada yg sudah memutuskan masuk dibulan juni ini-. 

Jika kita perhatikan keputusan bersama 3 kementrian, BNPB dan Komisi X DPR RI, maka titik beratnya adalah pada keselamatan jiwa peserta didik. Sekolah dianggap sebagai tempat kerumunan masa, selain itu interaksi antara peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan guru, dan guru dengan guru tidak seperti interaksi antara pedagang dengan pembeli. Interaksi antar warga sekolah lebih bersifat interpersonal, ada persahabatan, kasih sayang, dukungan, kejujuran, kepercayaan, dst. Maka resiko penyebarannya cukup tinggi. 


Disisi lain, pemerintah mulai melonggarkan PSBB dan memulai AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru), walaupun "hanya" dilonggarkan namun faktanya sudah pada tahap dihapuskan. Jalanan kembali ramai, macet dimana², pasar² ramai, mall² juga ramai, -mungkin hanya masjid yg masih tetap sepi!-. Jika kita hanya melihat pada realita lapangan, maka tidak jelas apa yg dimaksud dengan AKB! Karena semua sudah kembali seperti sedia kala.

Kondisi ini mengakibatkan interaksi anak² sekolah menjadi makin tidak terkontrol: orangtua mulai bekerja secara 'normal' dan anak² ditinggal sendirian! Tidak, lebih tepatnya anak² berkumpul dengan teman²nya bermain diluar rumah! 

Siapa yang akan mengontrol anak² pada masa 'transisi' AKB ini? Resiko penularan tetap besar, pembelajaran jadi nol besar! Ini PR pemerintah, harusnya kebijakan belajar dari rumah didukung dg kebijakan lain yg tetap mengakomodir dan mendukung pendidikan anak². Keputusan BDR lalu menyerahkan kepada guru untuk berkreasi sepenuhnya adalah tindakan "lempar batu sembunyi tangan".

Pesantren yang merupakan 'lembaga pembentukan karakter' melihat bahwa permasalahan diatas harus diselesaikan secara lebih bijaksana. Jika pertimbangan Kemendikbud adalah faktor keselamatan jiwa peserta didik, maka ada satu pertanyaan yang sangat mendasar, "lebih aman mana, anak² BDR namun kondisinya sudah tidak PSBB? Atau anak² diisolasi di Pesantren untuk belajar tatap muka?".

Sehingga tidak salah kalau banyak pegiat pesantren yang beranggapan pesantren lebih aman daripada rumah. Ini alasan pertama. 

Alasan kedua adalah pada sisi pendidikan anak², Indonesia saat ini dan beberapa tahun kedepan menghadapi bonus demografi. Artinya penduduk dengan usia produktif jauh lebih banyak daripada penduduk dengan usia tidak produktif. Jika anak² semakin lama dibiarkan berada dirumah, kira² apa yg dapat mereka pelajari? Mungkin satu-dua keluarga ada yang mampu menerapkan pendidikan secara mandiri untuk putra-putrinya... Namun pada skala makro, saya tidak yakin itu akan berjalan! Jika pesantren adalah tempat yang aman, maka pembelajaran tatap muka tentu lebih maksimal daripada BDR baik daring maupun luring. 

Alasan ketiga. Pembentukan karakter diperlukan empat tahapan: teaching, modeling, habituiting, dan reinforcing. Keempat tahapan ini sukar didapatkan didalam rumah. Karena faktanya, hampir 100% alasan orangtua memasukkan anak²nya ke pesantren adalah karena faktor pendidikan karakter. Orangtua merasa berat ketika harus mendidik anak² untuk berkarakter positif, karena "teladan" anak² dirumah adalah Naruto dan kawan², sementara di pesantren teladannya adalah kyai dan asatidzah! Meskipun memungkinkan, namun proses pembentukan karakter berat untuk dilakukan dari rumah. 

Alasan keempat. Pesantren pada sisi yang berbeda, dapat dipandang sebagai lembaga perekonomian. Berbeda dengan sekolah biasa, pesantren memiliki jumlah karyawan yang lebih besar. Karena selain guru kelas, ada guru asrama, guru tahfizh, dan pegawai lain. Rasio karyawan dibandingkan dengan jumlah santri bisa mencapai 1:4 bahkan 1:1. Selain itu, perputaran keuangan pesantren juga membantu perekonomian warga sekitar pesantren, jualan mereka menjadi laku dan bahkan tidak sekidit yg 'mendadak' membuka jasa laundry. Jika perekonomian pengusaha² besar mendapat perhatian serius dari pemerintah, seharusnya nasib civitas pesantren dan warga sekitarnya lebih serius lagi diperhatikan. Karena hasil perjuangan mereka akan dinikmati oleh bangsa dan negara! 

Alasan kelima. Tenggang rasa dan gotong royong didalam pesantren jauh lebih besar daripada diluar pesantren -setidaknya ini yg saya rasakan-. Hal ini melahirkan sikap empati dan kepedulian antar warga pesantren. Ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pandemi covid-19. Istilah "social distancing" pernah mendapat kritik agar diubah menjadi "physical distancing", karena yang perlu dijaga jaraknya hanyalah fisiknya saja, bukan interaksi sosialnya! Selama ini sesama warga pesantren sudah terbiasa berinteraksi sosial yang berasal dari hati. 

Alasan keenam. Kontrol teknologi! Perkembangan perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Banyak ahli yg menyebut saat ini kita berada di era industri 4.0, dimana segala sesuatu memiliki irisan interaksi dengan teknologi informasi. Apa hasilnya? Anak² lebih rentan terserang penyakit... Karena lebih asyik nge-game dan nonton yutub daripada bermain layangan atau bentengan. Orang tua lebih nyaman membiarkan anak²nya menyendiri didalam kamar dengan gadgetnya daripada anaknya bermain keluar rumah. Bukankah demikian? Namun tidak dengan pesantren. Pesantren mengajarkan kontrol teknologi yg sangat efektif. Para santri sangat dibatasi interaksinya dg teknologi, karena pesantren memegang filosofi "yg dibutuhkan anak² adalah kontrol teknologi, bukan intensitas interaksi dengan teknologi!"

Itulah beberapa alasan yang mendasari mengapa sebagian pesantren telah membuka pendidikan tatap mukanya. Tidak perlu ditanyakan tentang koordinasi dengan pihak² pemerintah... Karena dalam dunia pesantren koordinasi dengan pihak² pemerintah adalah hal yg lumrah dilakukan. Bukankah selama ini para pejabat rajin mengunjungi pesantren² pada masa² kampanye?

0 komentar:

Posting Komentar