Blogger templates

Kamis, 09 Mei 2019

“Sekolah is life style”


(renungan untuk para pengelola sekolah)

Oleh : Aminullah Yasin (guru dan pengelola sekolah)

Keberadaan sekolah dari masa ke masa terus mengalami perubahan. Dahulu sekolah dimunculkan sebagai wadah pendidikan bagi anak-anak untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan di tengah masyarakat saat mereka telah dewasa, kemudian sekolah secara perlahan-lahan memberikan dampak pada peserta didiknya sebagai orang terpandang, semakin tinggi jenjang sekolah yang dimasuki seorang anak, semakin tinggi pula strata sosialnya ditengah masyarakat. Ini fakta. Disebagian tempat, orang dengan status “SD” dipandang rendah oleh orang dengan status “S1”. Demikian pula sebaliknya, masih tersisa orang-orang “S1” atau bahkan diatasnya merasa jumawa dengan gelar yang dimilikinya, walaupun kondisi ekonominya pas-pasan.

Namun sekarang, kondisi agak sedikit berbeda.


Kemudahan mendapatkan akses sekolah kini terbuka lebar, terlebih orang-orang yang hidup di perkotaan. Akibatnya, angka pengangguran bagi orang-orang terhormat dengan “strata pendidikan tinggi” semakin banyak. Pengangguran lulusan SMA/sederajat, banyak. Pengangguran lulusan S1 juga banyak. Sisi baiknya, sisa-sisa orang jumawa dengan status akademiknya semakin berkurang. Karena sadar, bahwa ternyata status akademik tidak menyelamatkan kondisi perekonomiannya. Pada kehidupan nyata, mereka harus bersaing dengan orang-orang tanpa gelar akademik. Bahkan sebagian harus menerima ternyata keberuntungan tidak selamanya memihak orang dengan tingkat akademik tinggi. Ironi? Mungkin iya, tapi saya rasa tidak.


Setelah akses sekolah menjadi mudah, kini masalah bergeser. Sekolah-lah yang kini bermasalah. Pertumbuhan sekolah di perkotaan bagaikan pertumbuhan lumut ditempat lembab, bahkan kini sudah mulai masuk ke pedesaan. Karena jumlah sekolah sudah banyak, mereka harus bersaing dengan sesama mereka untuk “bertahan hidup”. Sekolah yang tidak mampu bersaing, maka siap-siap saja gulung tikar. Sekolah berebut murid, layaknya toko berebut pelanggan. Jika jumlah murid sedikit, maka sekolah akan terancam tutup. Jika banyak, maka diluar sana akan ada sekolah lain yang terancam tutup. Pilihannya hanya dua, sekolah kita yang tutup atau sekolah orang lain. Membunuh atau terbunuh! Menurut saya, ini ironi yang hakiki.

Karena kondisinya demikian, sekolah berlomba-lomba berinovasi. Tujuannya satu: agar dapat banyak murid dan bisa terus bertahan. Walaupun konsekuensinya akan ada sekolah lain yang harus “mati”. 

Walaupun ironi, namun itu urusan mereka, biar saja mereka yang menyelesaikan urusan mereka sendiri. Saya hanya ingin menyoroti cara-cara konyol sekolah dalam mempromosikan dagangan mereka. Sekolah is life style. Itu slogan yang seharusnya muncul dipermukaan, karena itu yang sesuai fakta.

Sekolah saat ini berlomba menghadirkan “kenyamanan” dalam proses pendidikan yang dijalankannya. Padahal, kondisi riil kehidupan tidak pernah senyaman itu. Sekolah berlomba berpenampilan anggun dan menawan melalui seragam sekolah yang dimunculkan. Padahal, kondisi riil kehidupan tidak mengenal penyeragamaan, justru keberagaman. Sekolah mengadakan berbagai kompetisi “bergengsi”, anak-anak dibuat bangga ketika berhasil menjuarai suatu kompetisi. Padahal, kondisi riil kehidupan tidak mengenal kompetisi bergengsi, piala yang diraih manfaat terbesar yang merasakannya adalah sekolah, bukan anak didik. Sekolah akan memajang deretan prestasi yang diraih untuk terus menarik “pelanggan baru”, sementara anak didik yang memenangkan kompetisi itu, setelah lulus hanya akan menjadikannya sebagai kenangan semata. Kenangan pernah memberikan sumbangsih kepada sekolah agar bisa bertahan, meskipun dia kini harus bertahan sendiri tanpa bantuan sekolah. Bukankah demikian faktanya?

Sekolah sekarang itu tidak lebih dari sekedar gaya hidup. Bukan pembelajaran kehidupan. Anak didik ketika bersekolah, maka lingkungannya akan menjadikan dia bangga dengan statusnya sebagai anak sekolah. Setelah dia selesai sekolah, ya urus sendiri. Masih bangga jadi anak sekolah?

0 komentar:

Posting Komentar