Blogger templates

Selasa, 24 Januari 2012

SEJARAH ILMU FIKIH (Bagian Kedua) : Fikih Pada Zaman Tabi’in Dan Setelahnya

Alhamdulillah, segala puji milik Allah ta’ala, Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kehadirat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, beserta sahabat, keluarga, dan umatnya hingga akhir zaman. Amiin.

Pada pembahasan sebelumnya, telah kita ketahui bersama bahwa setelah Nabi Muhamamad meninggal, mayoritas sahabat meninggalkan kota madinah menuju penjuru dunia untuk berdakwah dan menebarkan islam, dan hal ini juga merupakan awal tersebarnya perbedaan pendapat antar mereka dengan sebab-sebab yang telah kita bahas (Baca : PERKEMBANGAN ILMU FIKIH (Bagian Pertama) : Fikih Pada Zaman Nabi dan Para Sahabat ).

Selama berada di kota-kota tersebut, para sahabat dengan aktif mengajarkan ilmu yang mereka dapat dari Rasulullah kepada orang-orang. Tentu saja mereka mengajarkan berdasarkan dengan wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang mereka hafalkan dan pahami, serta hasil ijtihad mereka.


Dari tangan mereka lahirlah generasi penerus pembawa panji-panji ilmu, yang dikenal dengan sebutan AT-TABI’UN (dalam translate bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama TABI’IN).

Setelah generasi sahabat sudah hampir berakhir, nama-nama kibarut tabi’in (Tabi’in senior) mulai mencuat, mereka pun menjadi rujukan orang-orang dalam fatwa dan ilmu, sehingga ‘terlahirlah’ madzhab-madzhab tabi’in yang terpresentasikan dalam fatwa-fatwa mereka.

Diantara tabi’in yang terkenal adalah :
  1. Sa’id bin al-Musayyab dan Salim bin Abdullah bin Umar di Madinah.
  2. Atho’ bin Abi Robah di Makkah.
  3. Ibrahim An-Nakho’i dan Asy-Sya’bi di Kufah.
  4. Al-Hasan Al-Bashri di Bashrah.
  5. Thowus bin Kaisan di Yaman.
  6. Makhul di Syam.
  7. Dsb.
Para imam dari generasi tabi’in ini memiliki ilmu yang luas, mereka mengumpulkan ilmu dari para sahabat, mempelajari perbedaan pendapat yang terjadi diantara para sahabat dan melakukan tarjih.

Sebagaimana para sahabat berbeda pendapat dalam urusan fikih (padahal sama-sama bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits) dengan sebab-sebab yang telah disebutkan, para tabi’in pun demikian.

Perbedaan pendapat mereka terbangun pada perbedaan pendapat yang terjadi antar sahabat.
Para tabi’in yang tinggal di kota madinah lebih condong kepada pandangan Umar bin Khottob, Utsman bin ‘Affan, ‘Aisyah dan Ibnu Abbas. Sedang para tabi’in yang tinggal di kota kufah lebih condong kepada pandangan Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Permasalahan yang dihadapi para tabi’in lebih kompleks daripada permasalahan yang dihadapi para sahabat, sehingga ‘memaksa’ mereka untuk turut berijtihad ketika tidak mendapati dalil dari Al-Qur’an, Al-Hadits dan atau fatwa para sahabat.

Demikianlah generasi tabi’in ini berkembang dan kemudian memunculkan generasi berikutnya. Generasi baru ini dikenal dengan generasi tabi’ut tabi’in, mereka mengambil ilmu dari para tabi’in, serta berdiri diatas manhaj (metode) para pendahulunya, berpegang teguh dengan Hadits Rasulullah serta beristidlal dengan perkataan para sahabat dan tabi’in. Mereka meyakini bahwa perkataan sahabat dan tabi’in tidak keluar dari dua kemungkinan :
  1. Perkataan tersebut sebenarnya adalah Hadits Nabi yang telah mereka ringkas redaksinya menjadi sesuatu yang mauquf. Atau,
  2. Pemahaman mereka terhadap sabda-sabda Nabi yang melahirkan hasil ijtihad mereka.
Para tabi’ut tabi’in yakin bahwa ijtihad para Sahabat dan tabi’in adalah ijtihad yang terbaik dan paling mendekati kebenaran bila dibandingkan dengan hasil ijtihad orang-orang setelah mereka, karena para sahabat dan tabi’in memiliki ketakwaan dan ilmu yang murni. Maka mengamalkan hasil ijtihad mereka adalah suatu keniscayaan, kecuali bila fatwa mereka bertentangan dengan Hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam.

Generasi ketiga ini adalah generasi pertama yang melakukan ‘pembukuan’ hadits-hadit Nabi. Diantara mereka yang melakukannya adalah Imam Malik, Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Dzi’b, Ibnu Juraij, Ibnu ‘Uyainah, At-Tsauri dan Ar-Rabi’ bin Shubaih rahimahumullah.

Dan diantara sekian banyak ulama dari generasi ini, Imam Malik adalah yang paling menonjol dalam penguasaan hadits-hadits Nabi. Selain itu beliau juga menguasai hasil-hasil keputusan Khalifah ‘Umar bin Khottob serta fatwa-fatwa Abdullah bin Umar, ‘Aisyah dan lain sebagainya. Ilmu beliau ini beliau tuliskan dalam sebuah buku yang sangat terkenal sebagai buku hadits pertama yaitu Al-Muwatho’.

Beliau menjadi rujukan dan panutan orang-orang yang tinggal di kota madinah, sehingga beliau memiliki julukan Imam Darul Hijrah.

Sedangkan di kota kufah, muncul seorang Imam yang sangat ‘alim, beliau menguasai secara konsisten madzhab Ibrahim An-Nakho’i yang bersumber dari sahabat Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Beliau juga melakukan takhrij (pengembangan) terhadap madzhab An-Nakho’i dengan detail dan teliti, beliau adalah Imam Abu Hanifah rahimahullah.

Kemudian tidak lama setelah kemunculan dua imam yang sangat menonjol ini, muncul seorang imam yang tidak kalah dalam keilmuan dari mereka berdua, beliau adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i rahimahullah.

Imam As-Syafi’i adalah seorang alim yang sangat cerdas dan teliti, beliau mempelajari ilmu dari para pendahulunya dan beliau dapati bahwa terdapat beberapa kelemahan dari fatwa para pendahulunya, seperti beristidlal dengan hadits mursal dan munqathi’, atau dengan perkataan para sahabat yang ternyata tidak terjadi kesepakatan (ijma’) diantara mereka, serta tidak adanya acuan yang jelas dalam melakukan jama’ dan tarjih.

Hal-hal tersebut membuat Imam As-Syafi’i bersungguh-sungguh untuk menulis sebuah kitab yang memuat ilmu yang bisa dijadikan acuan baku dalam memahami nushush dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, ilmu ini kemudian dikenal dengan ilmu USHUL FIKIH. Dan kitab beliau adalah kitab pertama dalam bidang ini.
Demikianlah pada generasi ketiga ini ‘lahir’ tiga madzhab besar, yaitu : Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’i.

Setiap madzhab dari ketiga madzhab tersebut memiliki ciri khas masing-masing. Madzhab Hanafi memiliki ciri khas ijtihad yang sangat terperinci, Madzhab Maliki memiliki ciri khas konsistensi dengan hadits dan fatwa ulama-ulama madinah dari kalangan Sahabat dan Tabi’in sedangkan Madzhab Syafi’i menggabungkan antara kedua madzhab tersebut.

Selain itu, ada pula madzhab ‘ke-4’, yaitu Madzhab Hanbali yang disandarkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal.

Beliau adalah seorang yang berguru kepada Imam As-Syafi’i, dari Imam As-Syafi’i beliau mengambil ilmu ushul fikih. Selain itu beliau juga berguru dengan sejumlah ulama hadits pada waktu itu, sehingga beliau memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hadits yang terpresentasikan dalam kitab tulisan beliau berjudul “AL-MUSNAD”. Kitab ini adalah sebuah himpunan hadits-hadits yang memiliki sanad bersambung kepada Rasulullah, kitab ini menjadi rujukan utama Imam Ahmad dalam pandangan-pangangan fikihnya, beliau sangat disiplin dan berhati-hati dalam berfatwa sebelum mendapatkan riwayat dari Rasulullah.

Sebenarnya, selain ke-4 madzhab tersebut masih banyak madzhab fikih yang lainnya. Karena pada hakikatnya, sebuah madzhab adalah bermula dari pandangan (ijtihad) para imam mujtahidin yang memiliki murid-murid dalam menyebarkan hasil ijtihadnya. Namun seiring dengan berlalunya masa madzhab-madzhab lainnya tersebut terkubur dalam sejarah, diantara sebabnya adalah :
  1. Tidak adanya kitab yang dijadikan rujukan utama yang ditulis oleh sang Imam atau para murid seniornya.
  2. Tidak adanya ilmu ushul fikih yang baku, dimana dengan ilmu tersebut sebuah madzhab bisa terjaga eksistensinya serta bisa melakukan pengembangan (takhrijat) dalam pandangan-pandangannya.
  3. Minimnya murid-murid yang secara pro-aktif menyebarkan madzhab tersebut.
Wallahu a’lam.

Bersambung insya Allah……

0 komentar:

Posting Komentar