Positivisme dan Ekonomi Islam[1]
Oleh : Aminullah Yasin[2]
Pada abad 19, Auguste Comte mengenalkan satu aliran filfasat baru yang
disebut Positivism, yang sebenarnya merupakan pengembangan dan bentuk
ekstrim dari teori empirisme (O.Hasbiansyah, 2000). Aliran positivisme menekankan bahwa suatu teori/ pandangan dianggap
benar jika dapat dibuktikan dengan fakta-fakta melalui observasi (verifikasi),
sehingga teori dan ilmu pengetahuan tak lain adalah untuk mengungkapkan
kebenaran tentang realitas (Sugiyono, 2001).
Disebut positivisme karena aliran ini menganggap bahwa hal yang
positif merupakan apa yang berdasarkan fakta obyektif (Fata & Noorhayati, 2016), positivisme menekankan aspek faktual dalam pengetahuan ilmiah dan
menafikan filsafat atau pengetahuan yang tidak bisa diverifikasi secara faktual.
Aliran positivisme dalam penelitian berkembang menjadi penelitian dengan
paradigma kuantitatif. Paradigma positivisme jika diimplementasikan dalam
penelitian ilmiah adalah untuk menguji kebenaran atau menerapkan sesuatu teori.
Metode yang digunakan adalah empiris-analitis; menggunakan logika deduksi,
teknik-teknik penelitian survai, statistika (termasuk yang non parametrik atau
yang diskriptif), generaslisasi, dan berbagai teknis studi kuantitatif serta
didesain dengan model-model kalkulatif (Sjafruddin, 2017).
Aliran positivisme dengan metode kalkulatifnya yang mengobservasi sebuah
fenomena dan mendeskripsikannya dengan H0 dan H1, dinilai oleh banyak ahli
sosial tidak tepat jika masuk dalam rumpun ilmu-ilmu sosial, karena
bagaimanapun dalam penelitian ilmu sosial memiliki banyak variabel yang saling
terkait dan sering tidak terjangkau oleh penelitian positivisme.
Namun dalam perkembangan pemikiran di dunia barat, banyak ilmuwan yang ingin keluar dari dogma kebenaran berdasarkan religiusitas (agama), sehingga teori positivisme disambut positif dan tersebar secara massif kedalam perbagai cabang dan rumpun ilmu pengetahuan, termasuk rumpun ekonomi (Fata & Noorhayati, 2016).