Alhamdulillah,
sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam beserta sahabat, keluarga dan ummatnya hingga akhir zaman.
Mempelajari
cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar merupakan salah satu ibadah
terbaik, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalllalahu alaihi wa sallam, dari
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu:
خَيْرُكُمْ مَن
تَعَلَّمَ القُرْآنَ وعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik
kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” [HR. Al-Bukhori].
Predikat
kemuliaan berdasarkan hadist tersebut dapat diraih dengan mempelajari Al-Quran
secara sungguh-sungguh.
Sifat
Seorang Yang Mempelajari Al-Qur’an
Seseorang yang memutuskan untuk meraih predikat kemulian dengan mempelajari Al-Qur’an, setidaknya harus memiliki empat sifat utama yang dijelaskan dalam uraian berikut.
Sifat
pertama, Ikhlas.
Keikhlasan
merupakan pondasi utama dalam mempelajari Al-Qur’an. Ketika mempelajari
Al-Qur’an, seseorang tidak boleh memiliki niatan untuk tujuan duniawi. Namun
menjadikan niatnya itu untuk mendapatkan ridho Allah ta’ala.
Sifat
kedua, memiliki guru.
Al-Qur’an
tidak akan bisa dipelajari tanpa adanya guru. Karena guru tersebutlah yang akan
menunjukkan kesalahan-kesalahan kita ketika membaca Al-Qur’an, lalu
meluruskannya. Guru Al-Qur’an bisa berprofesi apa saja, yang penting dia dapat
membaca Al-Qur’an dengan benar dan dibuktikan dengan adanya ijazah Al-Qur’an.
Sifat
ketiga, sabar.
Dalam
mempelajari Al-Qur’an dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Jika seseorang
mendapatkan banyak kesalahan dalam membaca Al-Qur’an ketika awal belajar secara
serius kepada Guru, maka itu adalah hal yang wajar. Bahkan para ahli Al-Qur’an
pun dahulu mereka melewati fase ini, dikoreksi cara membaca ta’awwudz,
Al-Fatihah, dst.
Sifat
keempat, tekad dan semangat yang tinggi.
Seseorang
harus memiliki kebulatan tekad dan semangat yang tinggi ketika mempelajari
Al-Qur’an. Dia harus siap berkorban waktu, harta dan tenaganya demi meraih
predikat kemuliaan ini. Ketika seseorang terus bersemangat dalam mempelajari
Al-Qur’an, Allah ta’ala pasti tidak akan menyia-nyiakan usahanya
tersebut.
Metode
Mempelajari Cara Membaca Al-Qur’an
Al-Qur’an
yang Allah ta’ala turunkan melalui malaikat Jibril ‘alaihis salam
dapat dipelajari dengan tiga metode.
Metode
pertama, guru
membacakan Al-Qur’an secara benar kepada murid, kemudian murid mengulangi
bacaan guru dan bacaannya tersebut akan dikoreksi langsung oleh guru. Metode
ini merupakan metode yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada para sahabatnya dan metode ini pula yang menjadi metode
Malaikat Jibril ketika menyampaikan Al-Qur’an kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Metode
ini adalah metode terbaik, karena Allah ta’ala menurunkan Al-Qur’an melalui
malaikat Jibril, Dia membacakan ayat Quran kepada Malaikat Jibril ‘alaihis
salam, kemudian Malaikat Jibril membacakannya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau membacakannya kepada para sahabatnya lalu para
sahabat mengajarkannya kepada para muridnya, dan kemudian para murid sahabat
itu mengajarkannya kepada murid-muridnya dan begitu seterusnya. Metode ini
terbukti mampu menjaga kemurnian cara pembacaan Al-Qur’an yang benar, karena
adanya mata rantai dalam pembelajarannya yang bersambung hingga Rasululullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahkan hingga Allah ta’ala.
Metode
ini disebut sebagai metode terbaik karena murid telah mendengarkan terlebih
dahulu cara membaca Al-Qur’an yang benar dari Guru, kemudian membacakan ulang
dan tiap kesalahannya langsung dikoreksi dan diluruskan oleh Guru. Sehingga
murid akan dapat membaca Al-Qur’an dengan cara yang benar sesuai dengan yang
diajarkan Gurunya.
Metode
kedua, murid
membaca Al-Quran terlebih dahulu tanpa ada contoh pembacaan Al-Quran dari
gurunya dan jika ada kesalahan akan dikoreksi langsung oleh Guru. Metode ini
biasanya diterapkan bagi murid yang memiliki latar belakang ilmu membaca
Al-Quran. Ini adalah metode yang paling banyak diterapkan saat ini.
Metode
ketiga, murid
hanya mendengarkan pembacaan gurunya dan tidak memperdengarkan kembali
bacaannya kepada Guru. Metode ini adalah metode yang jarang dipakai dan ini adalah
metode dengan standard yang terendah, karena guru tidak mendengarkan muridnya
membaca Al-Quran dan tidak pula mengoreksi kesalahan mereka. Metode ini sama seperti
seseorang yang mempelajari Al-Qur’an dari rekaman bacaan para Qori’.
Tingkatan
Orang Yang Membaca Al-Qur’an
Tidak
diragukan lagi, bahwa seseorang yang membaca Al-Qur’an memiliki keistimewaan
yang besar, terkait dengan hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
الْماهِرُ
بالقُرْآنِ مع السَّفَرَةِ الكِرامِ البَرَرَةِ، والذي يَقْرَأُ القُرْآنَ
ويَتَتَعْتَعُ فِيهِ، وهو عليه شاقٌّ، له أجْرانِ
“seorang
yang mahir membaca Al-Qur’an dia akan bersama para Malaikat yang terhormat dan
orang yang terbata-bata di dalam membaca Al-Qur’an serta mengalami kesulitan,
maka baginya dua pahala” [HR. Al-Bukhori dan Muslim].
Berdasarkan
hadits diatas, ada dua jenis orang yang membaca Al-Qur’an, yaitu orang yang
lancar membaca Al-Qur’an dan orang yang terbata-bata membaca Al-Qur’an. Tentu
saja yang terbaik dari dua jenis tersebut adalah jenis yang pertama, yaitu
lancar membaca Al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
menjanjikan dia akan senantiasa bersama para Malaikat.
Sedangkan
jenis kedua, yaitu orang yang membacanya dengan terbata-bata, maka dia
dijanjikan akan mendapatkan dua pahala sekaligus. Pahala pertama adalah pahala bacaan
Al-Qur’annya dan pahala kedua adalah pahala usaha yang dia kerahkan untuk
membaca Al-Qur’an. Dengan hal ini seorang muslim tidak perlu khawatir dan
kecewa ketika mendapati dirinya belum mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan
benar.
Seberapa
pentingkah belajar membaca Al-Quran dari seorang guru?
Tujuan
utama diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk untuk dipahami dan
diamalkan, namun bukan berarti membacanya dengan cara yang benar menjadi tidak
begitu penting. Hal ini bisa kita pahami dari sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:
خُذُوا القُرْآنَ
مِن أرْبَعَةٍ مِن عبدِ اللَّهِ بنِ مَسْعُودٍ - فَبَدَأَ به -، وسَالِمٍ، مَوْلَى
أبِي حُذَيْفَةَ، ومُعَاذِ بنِ جَبَلٍ، وأُبَيِّ بنِ كَعْبٍ
“Pelajarilah
Al-Qur’an dari empat orang: Abdullah bin Mas’ud, Salim (mantan) budaknya Abu
Hudzaifah, Mu’adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab.” [HR. Al-Bukhori dan Muslim].
Mereka
ini adalah para sahabat yang secara khusus disebut orang yang layak dijadikan
guru oleh para sahabat lainnya. Mengapa? Karena keahlian mereka dalam membaca
Al-Quran dan Allah memberikan mereka keistimewaan serta Rasululah shallallahu
alaihi wa sallam pun mengakui hal itu. Oleh sebab itu beliau menyuruh keempat
sahabatnya ini untuk menjadi guru Al-Quran. Hadits ini dapat kita pahami pentingnya
memilih guru Al-Quran terbaik, sebagaimana Rasululullah shallallahu alaihi
wa sallam memberikan petunjuk kepada para sahabatnya agar menekuni pembelajaran
Al-Qur’an dari keempat sahabat tersebut.
Dalam
hadits yang lain, beliau juga bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْهُ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ
أُمِّ عَبْدٍ
“Barangsiapa
yang ingin mampu membaca Al-Qur’an tepat seperti awal diwahyukannya, maka
hendaklah dia membaca seperti caranya Ibnu Ummi ‘Abdin” [HR. Ibnu Abi Syaibah
dan yang lainnya. Dishohihkan oleh Syekh Al-Albani].
Para
Ulama menjelaskan, Ibnu Ummi ‘Abdin dalam hadits diatas adalah Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh
Mas’ud bin Yazid Al-Kindi dan dishohihkan oleh Syekh Al-Albani, disebutkan
bahwa suatu hari Abdullah bin Mas’ud mengajari seseorang membaca Al-Qur’an,
lalu orang tersebut membaca ayat ke-60 dalam surat At-Taubah (إِنَّما الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ), namun orang
tersebut membaca (لِلْفُقَرَاءِ) dengan pendek, tanpa
memberinya madd.
Lalu
Abdullah bin Mas’ud menegurnya seraya mengatakan, “tidak seperti ini cara
membaca yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepadaku”.
Beliaupun membacakan cara membaca yang benar, yaitu memanjangkan bacaan (لِلْفُقَرَاءِ).
Hadits
dan atsar diatas menunjukkan betapa pentingnya kehadiran seorang guru agar kita
dapat membaca Al-Qur’an dengan cara benar. Al-Qur’an tidak boleh kita baca
dengan cara yang kita maui, bahkan aturan panjang-pendek bacaan pun diatur
secara rinci.
Membaca
Al-Qur’an harus sesuai dengan cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena membacanya merupakan amal ibadah yang berpahala besar. Oleh sebab itu,
ketika membaca Al-Qur’an harus terpenuhi pada diri kita dua syarat: ikhlas dan mutaba’ah
Rasul.
Seseorang
yang membaca Al-Qur’an sesuai dengan hukum-hukum tajwid yang berlaku akan lebih
merasa dekat atau tunduk dengan makna dari ayat yang dia baca dan memudahkannya
untuk mentadabburi makna ayat tersebut. Selain itu, juga bisa membuat orang itu mencintai dan
menikmati membaca Al-Quran dan tidak pernah merasa bosan dari membacanya.
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk membaca
Al-Quran dengan memperindah suara. Beliau bersabda:
ليس مِنَّا مَن لم
يَتغَنَّ بالقُرْآنِ
“Orang
yang tidak memperindah bacaan Al-Qurannya bukanlah bagian dari kami.” [HR. Abu
Dawud, dishohihkan oleh Al-Albani].
Makna
memperindah disini tentu saja orang yang membaca Al-Quran tidak seperti membaca
buku pada umumnya. Dia harus membacanya dengan suara yang indah dengan usaha
yang terbaik, sesuai dengan kaidah bacaan (tajwid) yang berlaku. Hal ini tidak
akan bisa dicapai seseorang tanpa adanya guru.
Keutamaan
membaca dan mempelajari Al-Qur’an
Sebagaimana
disebutkan diawal tulisan ini, bahwa seorang yang mempelajari dan mengajarkan
Al-Qur’an adalah termasuk golongan manusia terbaik dalam umat ini.
خَيْرُكُمْ مَن
تَعَلَّمَ القُرْآنَ وعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik
kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” [HR. Al-Bukhori].
Selain
hadits tersebut, Rasulullah juga menyebutkan beberapa hadits lain tentang
keutamaan membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Diantaranya, beliau pernah
bersabda:
منْ قرأَ حرفًا من
كتابِ اللهِ فله به حسنةٌ ، والحسنةُ بعشرِ أمثالِها لا أقولُ : آلم حرفٌ ، ولكنْ
ألِفٌ حرفٌ وميمٌ حرفٌ
“Barangsiapa
membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu pahala yang mana satu pahala
tersebut dilipatgandakan 10 kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa (ألٓمٓ) adalah satu huruf, namun Alif satu huruf,
lam satu huruf, dan mim satu huruf” [HR. At-Tirmidzi].
Jika
hanya membaca (ألٓمٓ) kita akan
mendapatkan 30 pahala, bagaimana jika kita membaca basmalah? Atau surat
Al-Fatihah? Atau bahkan jika kita membaca keseluruhan Al-Qur’an? Tentu
pahalanya sangat besar. Segala puji bagi Allah yang atas nikmat-Nya menjadi
sempurnalah kebaikan-kebaikan.
Dalam
hadits lain, beliau menyebutkan empat keistimewaan sekaligus bagi orang-orang
yang membaca dan mempelajari Al-Qur’an didalam masjid:
ما اجتَمَعَ قَومٌ
في بَيتٍ مِن بُيوتِ اللهِ تَعالى يَتلونَ كِتابَ اللهِ وَيَتَدارسونَه بَينَهم،
إلَّا نَزَلتْ عليهمُ السَّكينةُ، وغَشِيَتهمُ الرَّحمةُ، وحَفَّتهمُ المَلائكةُ،
وذكَرَهمُ اللهُ فيمَن عندَه
“Tidaklah
suatu kaum berkumpul di salah satu rumah diantara rumah-rumah Allah (masjid),
mereka membaca kitabullah dan saling mempelajarinya, niscaya ketenangan akan
turun pada diri mereka, kasihsayang akan meliputi mereka, para malaikat akan
menaungi mereka, dan Allah akan menyebut mereka dihadapan malaikat yang ada
disisiNya.” [HR. Muslim].
Allahu
akbar, sungguh beruntung orang yang mendapatkan keempat keistimewaan tersebut.
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam juga mengistimewakan orang-orang yang
menguasai Al-Qur’an dengan benar, sebagaimana beliau sebutkan dalam hadits
berikut:
يؤُمُّ القومَ
أقرَؤُهم لكتابِ اللهِ
“Yang
paling berhak menjadi imam sholat adalah yang paling baik bacaan Al-Qur’annya”
[HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan lainnya]
Dalam
hadits lain beliau juga menyebutkan bahwa iri kepada ahli Al-Qur’an adalah
termasuk iri yang diperbolehkan:
لا حَسَدَ إلَّا في
اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ القُرْآنَ، فَهو يَتْلُوهُ آناءَ
اللَّيْلِ، وآناءَ النَّهارِ، فَسَمِعَهُ جارٌ له، فقالَ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ
مِثْلَ ما أُوتِيَ فُلانٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ ما يَعْمَلُ، ورَجُلٌ آتاهُ اللَّهُ
مالًا فَهو يُهْلِكُهُ في الحَقِّ، فقالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ ما
أُوتِيَ فُلانٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ ما يَعْمَلُ
“Tidak
dibenarkan iri kecuali pada dua perkara: 1. seorang lelaki yang Allah ajarkan
kepadanya Al-Qur’an, lalu dia membacanya sepanjang malam dan siang, hingga
tetangganya mendengar bacaan Al-Qur’annya dan tetangganya pun berkata,
‘seandainya aku diberi oleh Allah seperti yang diberikan kepadanya, niscaya aku
akan melakukan hal yang dia lakukan’. 2. Seorang lelaki yang Allah berikan
kepadanya harta melimpah, lalu dia mempergunakannya untuk kebenaran, hingga ada
orang yang berkata, ‘seandainya aku diberikan harta seperti yang diberikan
kepada lelaki tersebut, niscaya aku akan melakukan hal yang dia lakukan’” [HR.
Al-Bukhori]
Iri
hati pada hadits tersebut tentu saja adalah harapan mendapatkan dua hal
tersebut tanpa menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut dari orang yang telah
mendapatnya. Iri hati yang seperti ini diperbolehkan karena mengandung maslahat
untuk akhirat. Adapun iri hati dalam urusan dunia tidak diperbolehkan dalam
kondisi apapun.
Dengan
senantiasa membaca dan menghafal Al-Qur’an juga dapat memberikan manfaat besar
bagi kita di akhirat kelak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
اقْرَؤُوا القُرْآنَ
فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ
“Bacalah
Al-Qur’an, karena dia akan menjadi syafa’at bagi pembacanya di hari kiamat
kelak” [HR. Muslim].
Yang
dimaksud dengan menjadi syafa’at dalam hadits tersebut yaitu Al-Quran akan
datang pada hari pembalasan, meminta kepada Allah ta’ala agar mengampuni
orang itu dan meninggikan derajatnya di surga.
Keutamaan
membaca Al-Qur’an juga tidak terbatas kepada pembacanya saja, bahkan keutamaan
tersebut akan turut dirasakan pula oleh kedua orangtuanya. Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من قرأ القرآنَ
وتعلَّم وعمِل به أُلْبِس والداه يومَ القيامةِ تاجًا من نورٍ ضوءُه مثلُ الشَّمسِ
ويُكسَى والداه حُلَّتَيْن لا يقومُ لهما الدُّنيا فيقولان بمَ كُسينا هذا فيُقالُ
بأخذِ ولدِكما القرآنَ
“Barang
siapa membaca Al-Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkan kandungannya, niscaya
Allah akan pakaikan untuk kedua orangtuanya mahkota dari cahaya yang sinarnya
seperti sinar matahari, dan akan dipakaikan pula gaun (perhiasan) yang lebih
berharga daripada dunia ini. Kemudian kedua orangtuanya tersebut akan bertanya,
‘mengapa kami mendapatkan hadiah gaun ini?’, lalu akan dijawab, ‘karena sebab
anak kalian yang memilih Al-Qur’an (yaitu membaca, mempelajari, dan
mengamalkannya)’”. [HR. Al-Mundziri, dihasankan oleh Syekh Al-Albani].
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa Al-Quran akan
meninggikan derajat seseorang di surga:
يُقالُ لصاحبِ
القرآنِ اقرأْ وارتقِ ورتِّلْ كما كنت تُرتِّلُ في الدنيا فإنَّ منزلَك عند آخرِ
آيةٍ تقرؤُها
“Dikatakan kepada penghafal Al-Qur’an,
bacalah dan naiklah! Bacalah sebagaimana kamu biasa membacanya di dunia,
sesungguhnya derajatmu di surga sesuai dengan akhir ayat yang kamu baca.” [HR.
At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan lainnya].
Hadits
tersebut memiliki makna bahwa orang yang mampu menghafal Al-Quran di dunia ini,
maka tiap ayat yang dia baca dan hafalkan tersebut akan meninggikan derajatnya
di surga sampai ke derajat yang tertinggi.
Kewajiban
menjaga hafalan Al-Qur’an
Menjaga
hafalan Al-Qur’an adalah kewajiban setiap penghafal Al-Qur’an, karena –meskipun
Al-Qur’an ini mudah dihafalkan-, sangat mudah hilang dari ingatan seseorang.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
تَعاهَدُوا
القُرْآنَ، فَوالذي نَفْسِي بيَدِهِ لَهو أشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ الإبِلِ في
عُقُلِها
“Jagalah
hafalan Al-Quran, -demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya- hafalan Al-Qur’an
itu lebih cepat hilang dari ingatan daripada unta yang kabur jika dia
dilepaskan dari ikatannya.” [HR. Al-Bukhori dan Muslim].
Beberapa
ulama berpendapat bahwa menghilangkan hafalan Al-Quran itu merupakan dosa
besar, karena hafalan Al-Quran tidak akan hilang kecuali akibat adanya
perbuatan dosa besar. Allah ta’ala tidak akan menghukum seseorang dengan
hilangnya hafalan Al-Quran kecuali akibat dosanya sendiri. Semoga Allah ta’ala
mengampuni orang-orang yang telah menghilangkan hafalan Al-Quran dan terus
bertaubat mencari ampunan Allah.
Adab-Adab
saat membaca dan mempelajari Al-Qur’an
Ada
beberapa adab yang harus kita perhatikan saat membaca dan mempelajari Al-Quran,
yaitu:
Pertama,
Menyimak Al-Quran dengan seksama.
Setiap
kali mendengarkan pembacaan Al-Quran kita harus diam dan menyimaknya, sebagai
bentuk pengagungan kita terhadap Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ
الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“dan
apabila dibacakan Al-Qur’an kepadamu maka diam dan simaklah bacaan tersebut,
semoga dengan hal tersebut kamu mendapatkan kasih sayang-Nya” [QS. Al-A’rof :
204].
Kedua,
menjaga Al-Qur’an agar tidak kotor.
Jangan
biarkan mushaf Al-Qur’an menjadi mainan anak-anak, sehingga robek atau
dicoret-coret isinya. Tempatkanlah mushaf pada tempat yang tinggi dan layak
sehingga terjaga dari kotoran debu, air dan lainnya, serta jangan meletakkan Al-Qur’an
pada bagian bawah tumpukan buku. Demikian pula tidak boleh kita menyandarkan
punggung atau tangan kita pada mushaf. Karena perbuatan-perbuatan tersebut
merupakan bentuk tidak hormat terhadap Al-Qur’an. Adab terhadap mushaf ini juga
berlaku pada kaset, CD, atau flashdisk yang berisi khusus rekaman Al-Qur’an.
Jika kita dapati ada mushaf yang sudah tidak layak
dibaca karena adanya banyak coretan atau sudah terkoyak, cara menyelematkannya
adalah dengan membakarnya. Karena dengan membakarnya, maka tidak ada lagi sisa
mushaf yang akan tercecer dan bisa mengakibatkan semakin kotor dan tidak
terurus. Hal ini pernah dilakukan oleh sahabat Nabi, Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu.
Ketiga, jangan membaca Al-Quran di
tempat yang kotor atau tempat yang tidak layak seperti kamar mandi.
Keempat, bacalah Al-Qur’an dengan
ketenangan pikiran dan hati yang penuh hormat. Tidak boleh cepat dalam membaca
Al-Quran seperti membaca koran atau majalah. Namun Al-Quran harus dibaca
pelan-pelan dan penuh ketenangan.
Kelima, jika tidak dibaca jangan
biarkan mushaf dalam kondisi terbuka. Setelah selesai membaca Al-Qur’an,
hendaklah kita menutup Al-Qur’an dan meletakkannya pada tempat yang tinggi dan
layak. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam muqoddimah kitab
tafsirnya.
Keenam, tidak boleh menguap atau
kentut ketika membaca Al-Qur’an.
Ketujuh, tidak boleh menyentuh
Al-Quran jika belum bertaharah (bersuci). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:
لا يَمَسَّ القرآنَ
إلَّا طاهرٌ
“Tidak seorang pun boleh menyentuh Al-Quran
kecuali dia dalam keadaan suci” [HR. Ahmad]
Mush’ab
bin Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كنتُ أُمسكُ المصحفَ
على سعدٍ فاحتكَكْتُ فقال سعدٌ : لعلك مَسَسْتَ ذَكَرَكَ ؟ قلتُ : نعم . قال :
قُمْ فتوضَّأْ . قال : فقُمتُ فتوضَّأْتُ ثم رجَعتُ
“suatu
hari aku memegang mushaf dihadapan ayahku, lalu aku menggaruk kemaluanku karena
gatal. Ayahku kemudian berkata, ‘kamu memegang kemaluanmu?’.
‘iya’,
jawabku.
‘kalau
demikian pergilah berwudhu terlebih dahulu’, perintah ayahku.
Aku
pun berdiri dan mengambil wudhu’ lalu setelahnya kembali memegang mushaf.”
[diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan dishohihkan oleh Syekh Al-Albani].
Ilmu
Tajwid
Arti
Tajwid dan cakupan pembahasannya
Tajwid
secara linguistik berasal dari kata (جَوَّدَ -
يُجَوِّدُ) yang
memiliki arti memperbagus dan memperindah sesuatu. Sedangkan secara istilah,
tajwid adalah mengucapkan tiap huruf dari titik artikulasinya serta memberikan
tiap huruf karakteristiknya dan melakukannya dengan benar.
Dari
pengertian tersebut, maka dapat kita pahami bahwa pembahasan dalam tajwid ada
tiga perkara, yaitu:
Pertama, mengartikulasi tiap huruf
dari titik artikulasinya.
Tiap
huruf Arab (hijaiyah) memiliki titik artikulasi saat kita mengucapkannya,
misalnya huruf “mim” (م) ini datang dari
bibir, inilah yang disebut dengan titik artikulasinya. Mempelajari titik
artikulasi tiap huruf hijaiyah dikenal dengan istilah makhorijul huruf.
Kedua,
memberikan
tiap huruf sifatnya masing-masing.
Tiap
huruf memilki sifatnya masing-masing sehingga ketika kita mengucapkan huruf
hijaiyah harus sesuai dengan sifatnya masing-masing tersebut. Contoh, ketika
kita ingin mengucapkan “shod” (ص) maka harus dengan
berat. Huruf shod juga memiliki sifat isti’la’ yaitu memiliki sifat tinggi dan
berat. Sehingga cara membaca huruf “shod” adalah dengan menaikan lidah.
Sedangkan untuk huruf “sin” (س), memiliki sifat
ringan tidak seberat shod, sehingga lidah kita lebih rendah saat mengucapkan “sin”.
Ketiga, melakukan dengan benar.
Maksudnya
adalah kita menerapkan kaidah-kaidah ilmu tajwid dengan benar saat kita membaca
Al-Qur’an. Terkadang sifat huruf itu
datang pada keadaan tertentu, misalnya idgham, ketika nun sukun (نْ) bertemu dengan “ya” (ي), maka nun sukun harus diucapkan dengan aturan idgham,
contohnya saat kita membaca “famayya'mal” (فَمَنْ
يَعْمَل), maka nun sukun tidak boleh diucapkan “faman ya'mal”, namun
diucapkan menjadi “famayya'mal”.
Keutamaan
dan penerapan ilmu tajwid
Ilmu
tajwid merupakan ilmu khusus yang hanya diterapkan pada Al-Qur’an saja, tidak
pada tulisan arab lain, seperti koran atau majalah. Bahkan pendapat yang
shohih, ilmu tajwid tidak diterapkan pada hadits. Karena berkaitan dengan
Al-Qur’an secara khusus, ilmu tajwid menjadi sangat mulia, dimana mempelajari
dan menerapkannya adalah bagian dari pengagungan terhadap Al-Qur’an.
Manfaat
mempelajari tajwid
Manfaat
dari mempelajari tajwid adalah agar kita tidak terjatuh kepada kesalahan ketika
membaca Al-Qur’an, karena terkadang kesalahan dalam membaca Al-Qur’an dapat
berakibat fatal. Misalnya, ketika membaca firman Allah ta’ala (وَاذْكُرُوا إِذْ كُنتُمْ قَلِيلًا فَكَثَّرَكُمْ)
yang memiliki arti, “dan ingatlah ketika kalian berjumlah sedikit, lalu Allah
jadikan kalian menjadi banyak.” Jika huruf “tsa” (ث) pada kalimat (فَكَثَّرَكُمْ)
dibaca secara salah menjadi huruf “sin” (س),
maka artinya akan sangat berubah menjadi “dan ingatlah ketika kalian berjumlah
sedikit, lalu Allah patahkan (hancurkan) kalian”. Salah baca satu huruf saja,
artinya sangat jauh berbeda. Padahal antara huruf “tsa” (ث) dan “sin” (س) memiliki kemiripan
dalam pengucapan. Disinilah pentingnya mempelajari tajwid.
Pencetus
ilmu tajwid
Ilmu
tajwid diambil dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca Al-Qur’an, kemudian oleh para ulama dirangkum menjadi kaidah-kaidah
ilmu tajwid. Para ulama berselisih pendapat siapakah yang pertama kali menulis
ilmu tajwid. Banyak yang berpendapat, Abul Aswad Ad-Duali lah yang pertama kali
menulis ilmu tajwid, ada pula yang berpendapat Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam
dan ada yang menyebut Al-Kholil bin Ahmad Al-Farohidi.
Penulisan
ilmu tajwid didasari karena Islam telah tersebar keberbagai belahan dunia,
sehingga banyak kaum muslimin dari kalangan non-Arab yang tidak dapat membaca
Al-Qur’an dengan benar. Sehingga para ulama khawatir jika mereka tidak menuliskan
kaidah-kaidah ilmu tajwid maka banyak kamu muslimin yang akan kesulitan membaca
Al-Quran yang sesuai dengan cara bacaan Rasulullah. Hal ini merupakan salah
satu cara Allah ta’ala melindungi Al-Quran dengan memerintahkan para
ahli tajwid meletakan pondasi aturan tajwid, sehingga tiap orang bisa membaca
dan menerapkannya.
Hukum
mempelajari ilmu tajwid
Mempelajari
ilmu tajwid secara teoritis hukumnya fardhu kifayah, sedangkan membaca Al-Qur’an
sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid hukumnya fardhu ‘ain. Dalil dari hal
ini telah kami singgung diatas, yaitu perintah Rasulullah agar para sahabat
mengambil ilmu cara membaca Al-Qur’an dari empat sahabat : Abdullah bin Mas’ud,
Salim, Mu’adz bin Jabal, dan Ubai bin Ka’ab. Selain itu, sebagaimana telah kita
singgung pula, bahwa membaca Al-Qur’an merupakan ibadah, sedangkan syarat diterimanya
sebuah ibadah adalah ikhlas dan mutaba’ah. Maka dalam membaca Al-Qur’an, harus
sesuai dengan cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya.
Prinsip
dalam mempelajari ilmu tajwid
Ada
empat prinsip yang harus dipegang seseorang dalam mempelajari dan menerapkan
tajwid, yaitu:
Prinsip
pertama, mengartikuasikan
huruf dari titiknya,atau makharijul huruf, yaitu mengetahui dari mana asalnya
huruf. Misalnya, huruf 'ain (ع) titik artikulasinya adalah
dari tenggorokan bagian tengah.
Prinsip
kedua, mengetahui
sifat huruf dan menerapkan sifat ini. Contoh: salah satu karakteristik dari
huruf “ba” (ب) jika huruf itu
berharokat sukun maka berlaku aturan qalqalah yang artinya anda harus
memberikan getaran suara ekstra, demikian juga pada huruf “dal” (د) pada kalimat (قل هو الله أحد), membaca “ahad” (أحد) tidak boleh hanya langsung berhenti, namun harus dibaca “ahadd”
suara dal yang bergetar (bergerak). Inilah yang disebut sebagai salah satu
sifat dari huruf dal jika dengan harakah sukun. Maka yang harus diterapkan
adalah sifat qalqalah.
Prinsip
ketiga, aturan
yang harus diterapkan pada tiap huruf berdasarkan sususan kata atau kalimatnya.
Misalnya “nun sukun” (نْ) diikuti
“ya” (ي), maka harus menerapkan idgham. Kalimat
pada ayat (فمن يعمل) diucapkan menjadi “famayya'mal”.
Jadi memasukan “nun sukun” (نْ) ke
dalam “ya” (ي), oleh sebab itu yang
anda dengar adalah “ya” dengan gunnah, dengan suara sengau.
Prinsip
keempat, melatih
lidah dan terus mengulanginya. Hal ini dimaksudkan agar terbiasa dan semakin
baik dalam membaca Al-Qur’an. Diawal belajar ilmu tajwid, sangat terbuka lidah kita
banyak menemui kesalahan, namun dengan banyak latihan akan bertambah baik dan semakin sempurna
kemampuan kita dalam membaca Al-Qur’an.
Wallahu
a’lam.
========
*
Tulisan ini diambil dari transkip ceramah Syekh Ahmad Abdul Wahhab pada mata
kuliah Tajwid 101, program Islamic Studies, International Open University,
dengan beberapa penyesuaian.
0 komentar:
Posting Komentar