Pages

Pages - Menu

Selasa, 22 Oktober 2024

Kurikulum Merdeka bermasalah (?)


Belakangan ini banyak narasi di media sosial yang mengkritisi kurikulum merdeka, bahkan sebagian narasi sampai menyebutkan bahwa proyek kurikulum merdeka merupakan proyek pembodohan generasi muda di Indonesia. Terlepas dari adanya plus – minus dalam kurikulum merdeka, mari kita coba melihat dengan perspektif yang lebih luas dari sekedar melihat sebuah “kurikulum” saja.

[1] Perkembangan teknologi dan asimilasi budaya

Perkembangan teknologi yang sangat pesat belakangan ini memberikan impact yang sangat besar terhadap kepribadian generasi muda. Bahkan -mungkin- inilah penyebab utama “pembodohan” yang terjadi ditengah anak-anak usia sekolah.

Teknologi ditangan anak-anak itu laksana lentera ditangan bayi, tidak menerangi justru membakar dan membahayakan. Kepribadian banyak anak (sering disebut sebagai gen Z dan gen Alpha), terbentuk akibat seringnya interaksi dengan game online dan media sosial. Gaya komunikasi yang berkembang pada Gen Z dan Gen Alpha sudah seperti komunikasi M2M (mesin ke mesin), tidak lagi mencerminkan komunikasi antarpribadi. Anak-anak bias dalam membedakan dengan siapa dia berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga oleh banyak orang dewasa mereka dianggap tidak memiliki sopan santun dan tata krama.

Model komunikasi pada media sosial adalah ekspresif tanpa memperhatikan perasaan orang lain, saat buka facebook -misalnya- kita langsung disuguhi pertanyaan “apa yang Anda pikirkan?”.

Sementara komunikasi pada game online lebih menekankan pada penyelesaian masalah secara biner: hanya ada dua pilihan: “benar” dan “salah”, atau “musuh” dan “kawan”, atau “iya” atau “tidak”, tidak pernah tersedia opsi ketiga. Padahal realita kehidupan tidaklah sesederhana itu, banyak hal-hal yang bersifat sangat subjektif mengikuti kaidah “maslahat dan mafsadat”.

Disadari atau tidak, budaya kita telah bergeser, asimilasi budaya terjadi bahkan saat kita mencoba melindugi anak-anak kita dari pengaruh negatif dunia luar. Anak tetap didalam rumah, namun pengaruh negatif masuk ke jantung pertahanan kita melalui gadget ditangan anak-anak kita (!).

Kira-kira menurut Anda, apakah perkembangan teknologi ini tidak menjadi penyebab kemerosotan tingkat pendidikan anak-anak?

[2] Sumber Daya Manusia

Rasa-rasanya zaman dahulu sangat jarang ada guru dilaporkan ke polisi gara-gara menghukum siswa, sekarang? Kalau mau jujur, itu para orangtua yang begitu defensif terhadap anaknya dan terlampau kritis kepada para guru, kira-kira hasil didikan kurikulum merdeka atau kurikulum lama?

Krisis SDM ini coba kita baca dari dua sisi sekaligus:

a. Krisis SDM pada orang tua.

Mereka seolah belum siap menjadi orang tua, banyak kajian sosial terkait hal ini, seperti kajian tentang generasi sandwich, krisis ekonomi, kondisi VUCA era, dan lain sebagainya. Tentu tidak bisa kita katakan sebagian orangtua zaman sekarang yang bersikap tidak dewasa, arogan, tidak menghargai guru, dll, itu akibat kurikulum saat mereka dulu sebagai pelajar. Karena faktanya, begitu banyak faktor yang mempengaruhi kondisi psikologis mereka yang tidak dihadapai generasi sebelum mereka.

Faktor-faktor tersebut tidak serta merta menjadi hal yang patut dimaklumi, karena bagaimanapun kita harus bisa mengatasi problematika ini. Kegagalan dalam menghadapi masalah inilah yang mengakibatkan terjadinya krisis SDM pada orang tua. Akibatnya tidak hanya berdampak pada guru yang “takut” mengajar secara tegas, namun juga banyak dampak sosial lain, seperti KDRT, tingginya angka perceraian dan perselingkuhan, tingginya angka kriminalitas, dll.

Menurut Anda, kondisi ini apakah memiliki andil dan dampak pada mutu pendidikan saat ini?

b. Krisis SDM pada guru.

Isu ini menurut hemat saya, jauh lebih penting untuk dicarikan solusinya dibandingkan isu tentang kurikulum. Profesi guru di negeri ini masih dipandang sebagai “kasta menengah kebawah”, profesi pelarian saat gagal berkarir di profesi lain. Kesejahteraan guru masih sangat rendah, guru kategori sejahtera saja levelnya hanya bisa menggadaikan sertifikasinya untuk membeli KPR rumah bersubsidi, jangan ditanya guru swasta yang belum sertifikasi, apalagi guru honorer.

Pasar kita sudah memasuki era pasar global, suasana ‘transaksional’ bahkan ‘kapitalisme’ sangat kental kita rasakan. Ada uang = ada barang, itu hukum lumrah yang berlaku ‘hitam – putih’ tanpa memandang status dan gelar. Para guru yang berada ditengah pusaran pasar global ala kapitalisme ini, mau tidak mau, ya harus berusaha bertahan. Jika gaji yang mereka terima hanya cukup membayar rumah kontrakan, maka mereka harus cari penghasilan lain yang bisa menutup kebutuhan harian mereka.

Bagaimana mereka mau berpikir kompetensi abad 21, jika kondisinya seperti ini? Kurikulum apapun, jika tetap seperti ini ya tidak akan pernah berhasil!

[3] Isu Ujian Nasional dan anak tidak naik kelas

Dua isu ini sering dikaitkan dengan kurikulum merdeka, padahal kita semua tahu fakta-fakta suram tentang penyelenggaraan Ujian Nasional dahulu kala. Tingkat kecurangan yang masif, hingga kasus bunuh diri akibat depresi tidak lulus UN. Bahkan yang saya ingat, isu tentang penghapusan UN pertama kali mencuat saat debat cawapres 2019 yang lalu kubu Prabowo – Sandi lah yang memunculkan ide  penghapusan UN, meskipun yang menang Jokowi – Ma’ruf Amin, pada akhirnya ide tersebut tetap direalisasikan juga.

Sementara isu anak “harus” naik kelas, sejauh yang saya ketahui, sebenarnya dibeberapa sekolah masih menerapkan sistem tidak naik kelas, namun dengan pilihan: tidak naik kelas atau pindah sekolah lain dan statusnya dianggap naik. Mengapa sekolah menerapkan kebijakan tersebut? Ya kembali ke poin kedua, yang paling tidak bisa menerima anak tidak naik kelas adalah orang tuanya. Minimalnya, orang tua tidak tahu bagaimana cara memotivasi dan membujuk anaknya agar tetap semangat bersekolah meskipun tidak naik kelas.

Kira-kira jika diterapkan kurikulum baru, apakah masalah anak tidak naik kelas akan selesai?

[4] Jumlah Sekolah antara negeri dan swasta.

Ketersediaan jumlah sekolah di Indoneisa masih menyisakan PR.

-          Level SD/sederajat, terdapat 175.588 sekolah (63,52%)

-          Level SMP/sederajat, terdapat 61.999 sekolah (22,43%)

-          Level SMA/sederajat, terdapat 38.827 sekolah (14,05%)

Angka tersebut membentuk piramida terbalik, jumlah besar di level dasar dan jumlah sedikit di level atas. Menurut saya, isu ini jauh lebih memiliki urgensi dibandingkan isu kurikulum. Coba kita lihat data dari sisi lain perbandingan antara jumlah sekolah negeri dan swasta:

Level

Negeri

Prosentase

Swasta

Prosentase

SD/sederajat

131.152

74,69%

44.436

25,31%

SMP/sederajat

25.504

41,14%

36.495

58,86%

SMA/sederajat

11.601

29,88%

27.226

70,12%

 

Pemerintah hanya mengendalikan mayoritas sekolah pada level SD/sederajat, sementara pada level SMA/sederajat sekolah milik pemerintah tidak mencapai sepertiga dari total jumlah keseluruhan sekolah.

Sebagai pengelola sekolah swasta, saya merasa nyaman dengan kehadiran kurikulum merdeka, yang membebaskan sekolah untuk berinovasi dan berkembang lebih jauh. Kekhasan kurikulum dan muatan mata pelajaran dapat kita sesuaikan sesuai kebutuhan dengan tetap mengacu pada standar penilaian numerasi dan literasi nasional. Dibalik “produk gagal” yang diblowup di media sosial, saya yakin banyak anak-anak sekolah yang memiliki prestasi dan kompetensi jauh lebih unggul daripada “hasil cetakan” kurikulum sebelumnya.

Tanpa menampik adanya masalah krusial pada gen-Z dan gen-Alpha, namun solusi yang perlu dikaji harus komprehensif, bukan sekedar pada tataran “kurikulum merdeka” saja.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar