Belakangan ini banyak narasi di media sosial yang mengkritisi kurikulum merdeka, bahkan sebagian narasi sampai menyebutkan bahwa proyek kurikulum merdeka merupakan proyek pembodohan generasi muda di Indonesia. Terlepas dari adanya plus – minus dalam kurikulum merdeka, mari kita coba melihat dengan perspektif yang lebih luas dari sekedar melihat sebuah “kurikulum” saja.
[1] Perkembangan teknologi dan asimilasi budaya
Perkembangan teknologi yang sangat pesat belakangan ini memberikan impact
yang sangat besar terhadap kepribadian generasi muda. Bahkan -mungkin- inilah
penyebab utama “pembodohan” yang terjadi ditengah anak-anak usia sekolah.
Teknologi ditangan anak-anak itu laksana lentera ditangan bayi, tidak menerangi justru membakar dan membahayakan. Kepribadian banyak anak (sering disebut sebagai gen Z dan gen Alpha), terbentuk akibat seringnya interaksi dengan game online dan media sosial. Gaya komunikasi yang berkembang pada Gen Z dan Gen Alpha sudah seperti komunikasi M2M (mesin ke mesin), tidak lagi mencerminkan komunikasi antarpribadi. Anak-anak bias dalam membedakan dengan siapa dia berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga oleh banyak orang dewasa mereka dianggap tidak memiliki sopan santun dan tata krama.
Model komunikasi pada media sosial adalah ekspresif tanpa memperhatikan
perasaan orang lain, saat buka facebook -misalnya- kita langsung disuguhi
pertanyaan “apa yang Anda pikirkan?”.
Sementara komunikasi pada game online lebih menekankan pada penyelesaian
masalah secara biner: hanya ada dua pilihan: “benar” dan “salah”, atau “musuh”
dan “kawan”, atau “iya” atau “tidak”, tidak pernah tersedia opsi ketiga. Padahal
realita kehidupan tidaklah sesederhana itu, banyak hal-hal yang bersifat sangat
subjektif mengikuti kaidah “maslahat dan mafsadat”.
Disadari atau tidak, budaya kita telah bergeser, asimilasi budaya terjadi
bahkan saat kita mencoba melindugi anak-anak kita dari pengaruh negatif dunia
luar. Anak tetap didalam rumah, namun pengaruh negatif masuk ke jantung pertahanan
kita melalui gadget ditangan anak-anak kita (!).
Kira-kira menurut Anda, apakah perkembangan teknologi ini tidak menjadi
penyebab kemerosotan tingkat pendidikan anak-anak?
[2] Sumber Daya Manusia
Rasa-rasanya zaman dahulu sangat jarang ada guru dilaporkan ke polisi gara-gara
menghukum siswa, sekarang? Kalau mau jujur, itu para orangtua yang begitu
defensif terhadap anaknya dan terlampau kritis kepada para guru, kira-kira
hasil didikan kurikulum merdeka atau kurikulum lama?
Krisis SDM ini coba kita baca dari dua sisi sekaligus:
a. Krisis SDM pada orang tua.
Mereka seolah belum siap menjadi orang tua, banyak kajian sosial terkait
hal ini, seperti kajian tentang generasi sandwich, krisis ekonomi, kondisi VUCA
era, dan lain sebagainya. Tentu tidak bisa kita katakan sebagian orangtua zaman
sekarang yang bersikap tidak dewasa, arogan, tidak menghargai guru, dll, itu
akibat kurikulum saat mereka dulu sebagai pelajar. Karena faktanya, begitu
banyak faktor yang mempengaruhi kondisi psikologis mereka yang tidak dihadapai
generasi sebelum mereka.
Faktor-faktor tersebut tidak serta merta menjadi hal yang patut dimaklumi,
karena bagaimanapun kita harus bisa mengatasi problematika ini. Kegagalan dalam
menghadapi masalah inilah yang mengakibatkan terjadinya krisis SDM pada orang
tua. Akibatnya tidak hanya berdampak pada guru yang “takut” mengajar secara
tegas, namun juga banyak dampak sosial lain, seperti KDRT, tingginya angka
perceraian dan perselingkuhan, tingginya angka kriminalitas, dll.
Menurut Anda, kondisi ini apakah memiliki andil dan dampak pada mutu
pendidikan saat ini?
b. Krisis SDM pada guru.
Isu ini menurut hemat saya, jauh lebih penting untuk dicarikan solusinya
dibandingkan isu tentang kurikulum. Profesi guru di negeri ini masih dipandang
sebagai “kasta menengah kebawah”, profesi pelarian saat gagal berkarir di profesi
lain. Kesejahteraan guru masih sangat rendah, guru kategori sejahtera saja levelnya
hanya bisa menggadaikan sertifikasinya untuk membeli KPR rumah bersubsidi,
jangan ditanya guru swasta yang belum sertifikasi, apalagi guru honorer.
Pasar kita sudah memasuki era pasar global, suasana ‘transaksional’ bahkan ‘kapitalisme’
sangat kental kita rasakan. Ada uang = ada barang, itu hukum lumrah yang
berlaku ‘hitam – putih’ tanpa memandang status dan gelar. Para guru yang berada
ditengah pusaran pasar global ala kapitalisme ini, mau tidak mau, ya harus
berusaha bertahan. Jika gaji yang mereka terima hanya cukup membayar rumah
kontrakan, maka mereka harus cari penghasilan lain yang bisa menutup kebutuhan
harian mereka.
Bagaimana mereka mau berpikir kompetensi abad 21, jika kondisinya seperti
ini? Kurikulum apapun, jika tetap seperti ini ya tidak akan pernah berhasil!
[3] Isu Ujian Nasional dan anak tidak naik kelas
Dua isu ini sering dikaitkan dengan kurikulum merdeka, padahal kita semua tahu
fakta-fakta suram tentang penyelenggaraan Ujian Nasional dahulu kala. Tingkat kecurangan
yang masif, hingga kasus bunuh diri akibat depresi tidak lulus UN. Bahkan yang
saya ingat, isu tentang penghapusan UN pertama kali mencuat saat debat cawapres
2019 yang lalu kubu Prabowo – Sandi lah yang memunculkan ide penghapusan UN, meskipun yang menang Jokowi –
Ma’ruf Amin, pada akhirnya ide tersebut tetap direalisasikan juga.
Sementara isu anak “harus” naik kelas, sejauh yang saya ketahui, sebenarnya
dibeberapa sekolah masih menerapkan sistem tidak naik kelas, namun dengan pilihan:
tidak naik kelas atau pindah sekolah lain dan statusnya dianggap naik. Mengapa sekolah
menerapkan kebijakan tersebut? Ya kembali ke poin kedua, yang paling tidak bisa
menerima anak tidak naik kelas adalah orang tuanya. Minimalnya, orang tua tidak
tahu bagaimana cara memotivasi dan membujuk anaknya agar tetap semangat bersekolah
meskipun tidak naik kelas.
Kira-kira jika diterapkan kurikulum baru, apakah masalah anak tidak naik kelas
akan selesai?
[4] Jumlah Sekolah antara negeri dan swasta.
Ketersediaan jumlah sekolah di Indoneisa masih menyisakan PR.
-
Level SD/sederajat, terdapat 175.588 sekolah (63,52%)
-
Level SMP/sederajat, terdapat 61.999 sekolah
(22,43%)
-
Level SMA/sederajat, terdapat 38.827 sekolah
(14,05%)
Angka tersebut membentuk piramida terbalik, jumlah besar di level dasar dan
jumlah sedikit di level atas. Menurut saya, isu ini jauh lebih memiliki urgensi
dibandingkan isu kurikulum. Coba kita lihat data dari sisi lain perbandingan antara
jumlah sekolah negeri dan swasta:
Level |
Negeri |
Prosentase |
Swasta |
Prosentase |
SD/sederajat |
131.152 |
74,69% |
44.436 |
25,31% |
SMP/sederajat |
25.504 |
41,14% |
36.495 |
58,86% |
SMA/sederajat |
11.601 |
29,88% |
27.226 |
70,12% |
Pemerintah hanya mengendalikan mayoritas sekolah pada level SD/sederajat,
sementara pada level SMA/sederajat sekolah milik pemerintah tidak mencapai
sepertiga dari total jumlah keseluruhan sekolah.
Sebagai pengelola sekolah swasta, saya merasa nyaman dengan kehadiran kurikulum
merdeka, yang membebaskan sekolah untuk berinovasi dan berkembang lebih jauh. Kekhasan
kurikulum dan muatan mata pelajaran dapat kita sesuaikan sesuai kebutuhan dengan
tetap mengacu pada standar penilaian numerasi dan literasi nasional. Dibalik “produk
gagal” yang diblowup di media sosial, saya yakin banyak anak-anak sekolah yang
memiliki prestasi dan kompetensi jauh lebih unggul daripada “hasil cetakan”
kurikulum sebelumnya.
Tanpa menampik adanya masalah krusial pada gen-Z dan gen-Alpha, namun
solusi yang perlu dikaji harus komprehensif, bukan sekedar pada tataran “kurikulum
merdeka” saja.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar