Alhamdulillah,
sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kehadirat Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, beserta keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir
zaman.
Buku
“Hilyah Tholibul Ilmi” merupakan buku yang cukup masyhur dikalangan
para penuntut ilmu, buku ini merupakan panduan penting bagi orang-orang yang
memutuskan untuk serius menuntut ilmu syar’i.
Di
Program S1 jurusan Islamic Studies, International Open University (IOU),
buku ini menjadi buku wajib dalam mata kuliah Etika Menuntut Ilmu 101 di
semester 1, dimana tujuaanya agar mahasiswa berada di jalur yang benar dan
dapat mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh IOU, maupun
ketika mempelajari ilmu di tempat/ lembaga lain.
Syekh Bakr Abu Zayd lahir pada tahun 1944 dari suku Zayd, di tengah-tengah Najd, kota Shaqra, dan meninggal di Riyadh pada tahun 2008. Beliau menyelesaikan Pendidikan Menengah di Riyadh. Kemudian melanjutkan pendidikan tingi College of Shari'ah di Ibn Saud University serta menyelesaikan gelar Master dan PhD-nya disana di Higher Institute of Law.
Saat
menempuh pendidikan S1 hingga S3 beliau mengambil program intisab (non-reguler),
sehingga beliau tidak duduk di kelas, tetapi belajar secara pribadi dari banyak
Ulama terkemuka seperti Syekh Muhammad Al-Amin As-Shanqiti rahimahullah di
kota Madinah. Beliau mempelajari banyak buku dari Ulama tersebut dan membacakan
kembali kitab-kitab tersebut kepada gurunya. Beliau belajar secara klasik dengan
cara membacakan kembali kitab-kitab kepada guru dan guru menjelaskan kitab
tersebut, kemudian diakhir sesi pembelajaran murid dipersilahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Setelah selesai belajar satu kitab sang Guru memberikan ijazah kepada muridnya,
sebagai izin untuk mengajarkan kembali naskah tersebut kepada orang lain.
Selain
berguru kepada Syekh Muhammad Al-Amin As-Shanqithi, beliau juga belajar di
bawah bimbingan Syekh bin Baz.
Beliau
kemudian dipercaya untuk menduduki jabatan Hakim dan diangkat sebagai anggota Mahkamah
Agung dan Dewan Ulama Senior, serta terpilih sebagai Perwakilan Majelis Internasional
Hukum Islam dan kemudian terpilih menjadi Presidennya. Beliau telah menulis 66
buah judul buku. Diantara
karya-karyanya yang terkenal:
·
Aqidah Ibnu Abi Zayd-Ulama Maliki
·
'La Jadidah fii Ahkami as-Salah'
-"Tidak Ada yang Baru dalam Tata Cara Shalat", menyoroti hal-hal ekstrim
yang sering dilakukan orang ketika shalat, yang kemudian mengarah menjadi tata cara
yang aneh dan tidak biasa.
·
'At Tahdits Bi Maa Laa Yasihhu Fihi Hadits',
atau "Hadits-hadits Palsu yang Sering Diriwayatkan."
Kitab
“Hilyah” ditulis pada tahun 1408 H, sebagaimana yang disebutkan sendiri oleh
Syekh Bakr dalam Pendahuluannya. Tahun tersebut bertepatan dengan tahun 70-an
akhir atau awal tahun 80-an Masehi di mana sebuah revolusi besar terjadi.
Insiden pertama pada kurun waktu tersebut adalah Revolusi Iran, ketika Khomeini
berkuasa setelah menggulingkan rezim Shah.
Sebuah
perubahan besar terjadi
dalam Islam Syi'ah. Dimana dahulu kaum syi’ah meyakini bahwa urusan agama harus
dipisahkan dari urusan perpolitikan/ pemerintahan, hingga kemunculan Imam
Mahdi. Mereka telah meninggalkan urusan pemerintahan kepada siapa pun yang mau
mengambil tampuk pemerintahan. Kemudian, Khomeini mengembangkan filsafat baru
yang disebut 'Wilayatul Faqih' atau 'Perwalian Ulama', dan mengembangkan sebuah
pemikiran rasional teokrasi, di mana negara harus diawasi oleh para ulama
terkemuka dunia Islam (namun yang mereka
maksud dengan ulama Dunia Islam adalah Ulama Syi’ah Iran).
Faham
wilayatul faqih yang dikembangkan oleh Khomeini ini menjadi pemicu berbagai
gerakan di dunia Islam, diantaranya:
1.
Revolusi Islam (Syi’ah) di Iran
Khomeini
menyebutnya sebagai Revolusi Islam dan bukan sebagai Revolusi Syi'ah, meskipun
kenyataannya berbeda. Tujuannya adalah untuk menarik simpati orang-orang agar menerima
pemikirannya.
Kaum
Muslim pada waktu itu begitu terpengaruh oleh gagasan Khomeini bahwa sebuah
Negara Islam bisa terwujud. Revolusi Iran berjalan sukses, dimana Rezim Shah yang
berkuasa atas Iran pada saat itu terlalu disibukkan oleh kekayaannya, sehingga mengendalikan
negara dan hal-hal semacam ini menjadi terabaikan. Elemen keagamaan Khomeini dengan
dibantu kelompok Komunis dan demokratis berhasil merebut kendali dan
mencetuskan revolusi.
2. Insiden
Mekah-Penyerangan Ka'bah (1980)
Ka'bah
diserang setelah musim haji pada tahun itu. Banyak yang berspekulasi bahwa ini adalah
gerakan yang didalangi oleh Syi'ah, sementara yang lainnya berspekulasi bahwa
ini didalangi CIA, karena adanya pembakaran beberapa kedutaan di berbagai negara,
sehingga mereka mempercayai bahwa Barat berada di belakang semua ini.
Namun
sebelum kejadian itu berlangsung, di dalam Arab Saudi sendiri telah muncul sebuah
gerakan yang dimotori oleh beberapa pemuda dari kalangan mahasiswa dari
Universitas Islam Madinah dan beberapa ‘murid’ Syekh Nashirudin Al-Albani dan
Syekh Bin Baaz. Para pemuda tersebut memiliki keinginan untuk menerapkan Syari’at
Islam, akan tetapi mereka memilih jalur sendiri tidak lagi dibawah bimbingan
guru-guru mereka, sehingga syaithon mampu menghembuskan sebuah gagasan menyesatkan
ke dalam kelompok tersebut, mereka membangun keinginan untuk menerapkan
syari'ah.
Kelompok
tersebut secara lantang menyatakan perlawanan terhadap pemerintah Arab Saudi dengan
tuduhan adanya korupsi dan kerusakan dalam tatatan beragama. Kelompok ini
didalangi oleh Mahasiswa Universitas Islam Madinah yang juga mantan anggota
Garda Nasional Kerajaan Arab Saudi, dia bernama Juhaiman bin Muhammad bin Saif Al-‘Utaibi.
Kisah
terbentuknya kelompok ini berawal dari saudara perempuan Juhaiman yang bermimpi
bahwa dia akan menikah dengan 'Imam Mahdi' yang bernama Muhammad bin Abdullah Al-Qahthani,
seorang mahasiswa tahun ketiga di Ibn Saud University, yang juga seorang
Imam dan Khatib.
Muhammad
Al-Qahthani adalah orang yang sangat populer pada saat itu, hingga jalanan akan
dipenuhi oleh Ummat yang ingin mendengarkannya berceramah pada Khutbah Jumat.
Kemudian dia dibatasi oleh pemerintah hingga dilarang sepenuhnya dari memberikan
ceramah di depan umum dan akhirnya dia hanya bisa memberikan ceramah melalui rekaman.
Al-Qahthani
kemudian memutuskan untuk pindah ke Madinah dan beberapa pengikutnya mengarahkannya
untuk pindah ke sebuah desa di tengah padang pasir, di mana Juhaiman dan keluarganya berkumpul.
Saudara
perempuan Juhaiman kemudian mengenalinya sebagai, 'Imam Mahdi' yang dinantikan.
Pada awalnya Al-Qahthani tidak menerima pandangan ini, karena ia adalah seorang
mahasiswa syariah. Namun memang ada beberapa kesamaan seperti, ayahnya bernama
Abdullah, ibunya bernama Aminah, dan ia dari suku Qahthan[1]
(suku asli Arab), serta beberapa ciri lainnya.
Kedustaan
yang digaungkan berulang-ulang pada akhirnya akan terdengar seperti sebuah
kebenaran, begitulah prinsip kesesatan. Hal ini pun yang menjadikan Muhammad
Al-Qahthani menerima gagasan bahwa dirinya adalah Al-Mahdi.
Setelah
Al-Qahthani mengikrarkan dirinya sebagai Al-Mahdi, kelompok ini kemudian pergi
ke Ka'bah untuk melaksanakan prosesi bai'at, kaum muslimin yang berada di dalam
masjidil haram pada saat itu dipaksa untuk membai’at Al-Qahthani. Insiden bai’at
ini akhirnya berubah menjadi sebuah pemberontakan, namun berhasil ditangai
secara cepat oleh pihak keamanan Arab Saudi. Bentrokan pun tak terhindarkan
terjadi di dalam Masjidil Haram yang menimbulkan banyak korban jiwa termasuk Al-Qahthani
itu sendiri.
Juhaiman
dan kelompoknya yang selamat dalam insiden tersebut ditangkap dan kemudian dieksekusi
mati.
3. Kudeta di
Mesir
Pada
tahun 1981 di Mesir, Jama'ah Al Islamiyah dan beberapa cabang jihad dari Ikhwanul
Muslimin, berniat untuk melakukan makar terhadap pemerintah Mesir saat itu. Mereka
menyandera beberapa pejabat dan mengeksekusinya untuk merebut kekuasaan dan membuat
perubahan dalam pemerintahan. Diantara yang mereka bunuh adalah Presiden Mesir,
Muhammad Anwar Sadat.
Tidak
hanya pemerintahan, kelompok ini juga menyerang sejumlah wisatawan asing
sehingga membuat negara bertekuk lutut, karena devisa Mesir sangat tergantung
pada sektor pariwisata. Mereka berharap bahwa setelah mereka melakukan itu,
orang akan mendukung mereka, namun mereka keliru. Khalid Al-Islamboli yang
menjadi dalang kerusuhan ini kemudian ditangkap, dan kudeta berakhir.
4.
Pembantaian Orang Suriah di Hamat oleh Hafizh Assad
Pada
tahun 1982 , di Suriah, tepatnya di kota Hamat, kelompok Islamis mengambil alih
kota dan mengusir orang-orang partai Ba’its, partai yang berkuasa di suriah.
Partai
Ba’its merupakan partai dengan ideonlogi yang mirip dengan komunisme, saat itu di
bawah pimpinan Presiden Hafizh Assad, ayah dari Bashar Assad.
Pemerintah
Suriah mampu mematahkan kelompok yang dianggap melakukan pemberontakan tersebut,
akan tetapi ribuan nyawa menjadi korban.
5. Pengeboman
Kedutaan AS
Pada
tahun 1983, kedutaan AS di Beirut dibom dan diluluhlantakkan. Tujuh belas orang
dinyatakan hilang dan 63 lainnya tewas. Kejadian tersebut diikuti dengan
serangan terhadap Kedutaan Prancis di Kuwait.
Semua
insiden tersebut diatas memiliki kaitan dengan gerakan Islam yang diwarnai
dengan kekerasan. Inilah yang mendorong Syekh Bakr Abu Zayd menulis karya
fenomenal ini, agar semangat para pemuda penuntut ilmu dapat terarahkan dengan
benar dan tidak mudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain yang
mengakibatkan keluar dari jalur Islam yang haq.
Tindakan
ekstrimis dari sebagian kelompok Islam telah ada pendahulunya dari kaum
Khawarij, dimana beberapa pengikutnya memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi
Tholib radhiyallahu ‘anhu dan berbalik melawan beliau dan Muawiyah radhiyallahu
‘anhum. Disebut “khawarij”, karena Kelompok ini memisahkan diri dari
jama’ah kaum muslimin, menentang pemerintah Islam yang sah, dan akhirnya mereka
justru membantai umat Islam sendiri atas nama Islam yang murni serta
mengkafirkan kaum muslimin.
Syekh
Bakr Abu Zayd menyebut fenomena menyimpangnya para penuntut ilmu dari jalur
keilmuan yang benar dengan istilah “ta'aalum” (تعالم),
yang memiliki arti bahwa seseorang nampak belajar namun sesungguhnya tidak
benar-benar belajar (menyerap ilmunya). Terkait fenomena “ta’aalum” ini Syekh
Bakr Abu Zayd menulis sebuah karya dengan judul “At-Ta'aalum wa Atsaruhu ‘Alal
Fikri wal Kitab” (التعالم وأثره على الفكر والكتاب)
sebagai bentuk kepedulian beliau terhadap semangat Ummat di era 80-an.
Tujuan Penulisan
Kitab Hilyah
Tujuan
penulisan kitab “hilyah” sebagaimana beliau sampaikan pada Pendahuluan adalah
sebagai panduan bagi para penuntut ilmu agar mengetahui adab-adab mulia, dimana
ketika seorang penuntut ilmu kehilangan adab-adab tersebut niscaya mereka akan
menyimpang dan akan terhiasi dengan perilaku-perilaku buruk.
Syaikh
Bakr Abu Zayd juga menyebutkan betapa pentingnya untuk mempelajari sejarah
peristiwa yang terjadi selama kurun waktu tersebut, yang mana banyak insiden
(serupa) yang terjadi berulang-ulang. Periode tersebut adalah masa dimana dunia
Islam sedang mencari perubahan, banyak kaum muslimin yang tergerak untuk mempelajari
lebih dalam tentang agamanya, namun juga ada orang-orang yang mempromosikan
pemahaman yang menyimpang dari Islam dan menyimpang dari apa yang telah
diajarkan sebagai jalan kebenaran dari generasi sebelumnya.
Wallahu
a’lam.
========================================
*
Tulisan ini diambil dari transkip ceramah Syekh Dr. Bilal Philips
pada mata kuliah Etika Menuntut Ilmu 101, program S1 Jurusan Islamic Studies,
International Open University, dengan beberapa penyesuaian.
Sedikit
tentang Dr. Bilal Philips.
Beliau
lahir pada 7 Januari 1947 di Jamaica, besar di Kanada dan memutuskan untuk memeluk
Islam pada 1972. Beliau selanjutnya melanjutkan studi S1 di Universitas Islam
Madinah, lalu mengambil S2 di Universitas King Saud, Arab Saudi dan
menyelesaikan program Doktoralnya di University of Wales, Inggris.
Pada
tahun 2001, Dr. Bilal Philips menggagas pendirian sebuah Universitas berbasis online,
yang kini telah eksis dengan sebutan International Open University, berpusat di
Gambia.
Buku-buku
pertama Dr. Bilal Philips yang diterbitkan berkisar seputar masalah Syiah. Beliau
memiliki akses kepada Mu'alaf Barat, yang tidak paham tentang Syiah, sehingga
(tanpa disadari) mereka memeluk Syi'ah (bukan Islam-pent.). Tujuan utama dari
dakwah Syiah, adalah menggiring Muslim kepada Syi'ah. Oleh karenanya, Dr. Bilal
menulis buku-buku ini untuk membuka kedok Syi'ah dihadapan para Muallaf, di
antara buku tersebut adalah 'The Devils Deception of the Shia'. Buku ini
adalah buah karya Ibnu Jauzi yang diterjemahkan. 'The Mirage in Iran'
(Fatamorgana di Iran), adalah sebuah terjemahan dari buku buah karya seseorang
dengan nama pena Ahmad Al Afghani. Peranan Syiah dalam perjuangan Umat Muslim
menghadapi perang salib menjadi sorotan. Syiah telah bersekutu dengan orang
Mongol dan membantu mereka untuk mengambil alih teritorial Muslim, dengan
demikian Syi'ah telah memainkan peran penting dalam membantu penghancuran Umat
Muslim dan bekerjasama dengan Non-Muslim.
'
Al Khoemini bayna al I'tida Watatarruf' - ' Khomeni : a Fanatic or Moderat ' adalah sebuah buku yang menunjukkan bahwa ia
mempromosikan ide-ide dasar yang sama dari Syi'ah. Mereka berfokus pada
intermediasi dimana para imam yang menjadi perantara antara Allah dan manusia,
berdoa kepada Hasan, Husein, Ali dan Fatimah, dan menyembah mereka dengan mengatasnamakan
beribadah kepada Allah. Masalah-masalah dalam Fiqih juga membedakan mereka dari
arus utama Islam, meskipun perbedaan-perbedaan juga dapat terjadi diantara berbagai
aliran pemikiran dalam arus utama Islam. Masalahnya, perbedaan utama mereka bukanlah
karena, misalnya, mereka shalat dengan tangan di samping, atau nikah mut'ah,
atausodomi dan lainnya. Masalah utama terletak pada konsep ketuhanan dan
menyeru kepada selain Allah.
[1]
Hal ini tidak tepat,
karena Al-Mahdi bukan dari suku Qahthan, namun dari suku Quraisy. Berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لا
تذهب -أو لا تنقضي- الدنيا حتى يملك العرب رجل من أهل بيتي يواطئ اسمه اسمي
“tidak akan hancur dunia ini, hingga wilayah Arab
tunduk pada seorang lelaki dari kalangan ahlul bait-ku, namanya sama dengan
namaku” [HR. Ahmad]
Sementara hadits yang menyebutkan bahwa akan
muncul seorang pria dari Suku Qahthan yang akan dita’ati oleh kaum muslimin,
bukanlah Al-Mahdi.
لا
تقوم الساعة حتى يخرج رجل من قحطان يسوق الناس بعصاه
“Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga muncul
seorang lelaki dari suku Qahthan, dia akan memimpin manusia dengan tongkatnya.”
[HR. Muslim]
Suku Qahthan merupakan suku Arab asli dari
wilayah Yaman, dan kemunculan pria Al-Qahthani ini akan terjadi sebelum
kemunculan Imam Al-Mahdi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar