(renungan untuk para
pengelola sekolah)
Oleh : Aminullah Yasin (guru dan pengelola sekolah)
Keberadaan sekolah dari masa ke
masa terus mengalami perubahan. Dahulu sekolah dimunculkan sebagai wadah
pendidikan bagi anak-anak untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan di tengah
masyarakat saat mereka telah dewasa, kemudian sekolah secara perlahan-lahan
memberikan dampak pada peserta didiknya sebagai orang terpandang, semakin
tinggi jenjang sekolah yang dimasuki seorang anak, semakin tinggi pula strata
sosialnya ditengah masyarakat. Ini fakta. Disebagian tempat, orang dengan status
“SD” dipandang rendah oleh orang dengan status “S1”. Demikian pula sebaliknya, masih
tersisa orang-orang “S1” atau bahkan diatasnya merasa jumawa dengan gelar yang
dimilikinya, walaupun kondisi ekonominya pas-pasan.
Namun sekarang, kondisi agak
sedikit berbeda.
Kemudahan mendapatkan akses
sekolah kini terbuka lebar, terlebih orang-orang yang hidup di perkotaan. Akibatnya,
angka pengangguran bagi orang-orang terhormat dengan “strata pendidikan tinggi”
semakin banyak. Pengangguran lulusan SMA/sederajat, banyak. Pengangguran lulusan
S1 juga banyak. Sisi baiknya, sisa-sisa orang jumawa dengan status akademiknya
semakin berkurang. Karena sadar, bahwa ternyata status akademik tidak
menyelamatkan kondisi perekonomiannya. Pada kehidupan nyata, mereka harus
bersaing dengan orang-orang tanpa gelar akademik. Bahkan sebagian harus
menerima ternyata keberuntungan tidak selamanya memihak orang dengan tingkat
akademik tinggi. Ironi? Mungkin iya, tapi saya rasa tidak.
Setelah akses sekolah menjadi
mudah, kini masalah bergeser. Sekolah-lah yang kini bermasalah. Pertumbuhan sekolah
di perkotaan bagaikan pertumbuhan lumut ditempat lembab, bahkan kini sudah
mulai masuk ke pedesaan. Karena jumlah sekolah sudah banyak, mereka harus
bersaing dengan sesama mereka untuk “bertahan hidup”. Sekolah yang tidak mampu
bersaing, maka siap-siap saja gulung tikar. Sekolah berebut murid, layaknya
toko berebut pelanggan. Jika jumlah murid sedikit, maka sekolah akan terancam
tutup. Jika banyak, maka diluar sana akan ada sekolah lain yang terancam tutup.
Pilihannya hanya dua, sekolah kita yang tutup atau sekolah orang lain. Membunuh
atau terbunuh! Menurut saya, ini ironi yang hakiki.
Karena kondisinya demikian,
sekolah berlomba-lomba berinovasi. Tujuannya satu: agar dapat banyak murid dan
bisa terus bertahan. Walaupun konsekuensinya akan ada sekolah lain yang harus “mati”.
Walaupun ironi, namun itu urusan
mereka, biar saja mereka yang menyelesaikan urusan mereka sendiri. Saya hanya
ingin menyoroti cara-cara konyol sekolah dalam mempromosikan dagangan mereka. Sekolah
is life style. Itu slogan yang seharusnya muncul dipermukaan, karena itu yang
sesuai fakta.
Sekolah saat ini berlomba
menghadirkan “kenyamanan” dalam proses pendidikan yang dijalankannya. Padahal,
kondisi riil kehidupan tidak pernah senyaman itu. Sekolah berlomba
berpenampilan anggun dan menawan melalui seragam sekolah yang dimunculkan. Padahal,
kondisi riil kehidupan tidak mengenal penyeragamaan, justru keberagaman. Sekolah
mengadakan berbagai kompetisi “bergengsi”, anak-anak dibuat bangga ketika
berhasil menjuarai suatu kompetisi. Padahal, kondisi riil kehidupan tidak
mengenal kompetisi bergengsi, piala yang diraih manfaat terbesar yang
merasakannya adalah sekolah, bukan anak didik. Sekolah akan memajang deretan
prestasi yang diraih untuk terus menarik “pelanggan baru”, sementara anak didik
yang memenangkan kompetisi itu, setelah lulus hanya akan menjadikannya sebagai
kenangan semata. Kenangan pernah memberikan sumbangsih kepada sekolah agar bisa
bertahan, meskipun dia kini harus bertahan sendiri tanpa bantuan sekolah. Bukankah
demikian faktanya?
Sekolah sekarang itu tidak lebih
dari sekedar gaya hidup. Bukan pembelajaran kehidupan. Anak didik ketika bersekolah,
maka lingkungannya akan menjadikan dia bangga dengan statusnya sebagai anak
sekolah. Setelah dia selesai sekolah, ya urus sendiri. Masih bangga jadi anak
sekolah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar